Notification

×

Iklan

Iklan

LOT Anggaran Dikuasai Elite, Indonesia Ditetapkan "Miskin Secara Struktural"?

Senin, 23 Juni 2025 | Juni 23, 2025 WIB Last Updated 2025-06-22T16:36:57Z
LOT Anggaran Ilustrasi


Celebes PostMakassar, - Indonesia, negeri kaya sumber daya alam, kembali menghadapi ironi fiskal yang menyakitkan: anggaran negara (yang disebut sebagai LOT anggaran) justru dikuasai oleh segelintir elite. Ketimpangan perputaran dana negara ini mencuat dalam laporan sejumlah lembaga riset dan pengawas keuangan yang menyebut adanya konsentrasi anggaran di tangan kalangan atas — mulai dari pejabat pusat hingga konglomerat.


Ketimpangan Anggaran Bukan Sekadar Isu, Tapi Fakta


Menurut data Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, dari total APBN 2025 sebesar Rp3.500 triliun, lebih dari 58% dikelola langsung oleh kementerian dan lembaga pusat, sementara alokasi ke daerah hanya sekitar 30%, termasuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Desa. Yang menjadi perhatian serius: sebagian besar realisasi anggaran pusat terserap untuk belanja operasional, bukan pembangunan sektor publik langsung.


“LOT anggaran seolah menjadi arena dagang kepentingan elite. Ini bukan asumsi, ini fakta,” ujar Mounthe, analis kebijakan fiskal independen, kepada Celebes Post.


Elite Politik dan Ekonomi Diduga Menguasai Arus Anggaran


Berdasarkan investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), ada kecenderungan kuat bahwa distribusi anggaran mengikuti garis kekuasaan politik dan korporasi besar. Proyek infrastruktur strategis nasional, misalnya, banyak dikendalikan oleh konsorsium perusahaan besar yang terafiliasi dengan penguasa politik.


Fenomena ini menciptakan kemiskinan struktural: masyarakat bawah hanya menjadi penonton dalam perputaran uang negara yang seharusnya menopang kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan pangan.


Rekomendasi: Pemerataan LOT Anggaran Sebagai Jalan Keluar


Sebagai respons atas ketimpangan tersebut, berbagai pengamat menyarankan pemerataan LOT anggaran secara menyeluruh, tak hanya antar daerah tapi juga antar kelas sosial. LOT, atau Line of Transfer, harus menjangkau desa, UMKM, petani, nelayan, guru, hingga tenaga kesehatan — bukan hanya mengalir ke proyek-proyek mercusuar di pusat kota.


“Distribusi anggaran harus berbasis kebutuhan riil rakyat, bukan proyek politik pencitraan,” tegas Hidayat Akbar, pengamat ekonomi masyarakat.

 

Tekanan Internal dan Eksternal Jadi Ancaman Perubahan


Namun, reformasi anggaran ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tekanan dari dalam berupa resistensi birokrasi dan mafia proyek masih kuat. Di sisi lain, lembaga donor luar negeri kerap mempengaruhi kebijakan fiskal Indonesia melalui pinjaman dan syarat reformasi struktural.


Kekhawatiran pun mencuat bahwa jika tidak ada mekanisme pengawasan dan edukasi fiskal di daerah, maka pemerataan LOT hanya akan menjadi jargon kosong.


Masa Depan Anggaran, Harapan atau Ulang Tahun Masalah?


Langkah konkret yang kini didorong berbagai kalangan antara lain:

  • Transparansi publik dalam realisasi anggaran hingga ke level RT/RW.

  • Digitalisasi sistem pemantauan LOT anggaran, termasuk dashboard anggaran terbuka.

  • Edukasi anggaran berbasis komunitas di tiap provinsi untuk menumbuhkan literasi fiskal masyarakat.

  • Kebijakan hukum yang tegas terhadap pelaku monopoli anggaran.


Jika rekomendasi ini dijalankan, pemerataan LOT anggaran bisa menjadi tonggak baru revolusi fiskal Indonesia. Namun bila kembali dikuasai oleh elite, maka rakyat Indonesia hanya akan menjadi saksi sunyi atas terkurasnya uang negara oleh tangan-tangan tak tersentuh hukum.



Catatan Redaksi:
Celebes Post akan terus mengawal isu ini, menyuarakan suara rakyat, dan menghadirkan fakta-fakta baru demi Indonesia yang lebih adil dalam pengelolaan kekayaan negara.



Berita Video

×
Berita Terbaru Update