Notification

×

Iklan

Iklan

Kuasa Hukum Sebut FTN Dikriminalisasi, Pemerhati Sosial Desak Polda Sulsel Terapkan UU TPKS

Selasa, 26 Agustus 2025 | Agustus 26, 2025 WIB Last Updated 2025-08-26T03:17:24Z



Makassar CelebesPost Sulsel, – Penetapan status tersangka terhadap FTN dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menuai kritik keras dari kalangan praktisi hukum dan pemerhati sosial. Kuasa hukum menyebut kliennya menjadi korban kriminalisasi, sementara aktivis sosial menilai aparat penegak hukum semestinya menerapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengingat substansi kasus menyangkut dugaan kekerasan seksual yang melibatkan aparat kepolisian. Yang di gelar di polda sulsel Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Makassar.

Kuasa hukum FTN dari Kantor Hukum Ahmad Rianto & Partners, Andi Muhammad Syahruddin, S.H., M.H., menilai proses hukum yang menjerat kliennya sarat kejanggalan. Menurutnya, kasus ini bermula dari laporan seorang oknum anggota Polres Jeneponto berinisial JEC, namun laporan balik yang dilayangkan FTN terhadap JECberkaitan dengan dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik profesi kepolisian tidak mendapatkan tindak lanjut sebagaimana mestinya.

“Seharusnya laporan FTN diproses terlebih dahulu karena menyangkut dugaan pelanggaran etik dan disiplin aparat negara. Namun, yang terjadi justru klien kami langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ini bentuk kriminalisasi hukum, yaitu penggunaan instrumen hukum secara tidak proporsional untuk melemahkan posisi korban,” Tegas Syahruddin dalam konferensi pers di Makassar, Senin, 25/08/2025.

Syaruddin juga menjelaskan bahwa rencana gelar perkara yang dijadwalkan pukul 09.00 WITA batal dilaksanakan akibat perdebatan internal mengenai penerapan pasal. Menurutnya, perkara ini semestinya ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus), bukan oleh Kriminal Umum (Krimum), mengingat substansi kasus yang lebih tepat dikategorikan sebagai extra ordinary crime dalam kerangka perlindungan korban kekerasan seksual.

Selain mengawal jalannya proses hukum, pihaknya juga telah mengajukan permohonan resmi ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Upaya ini ditempuh sebagai bentuk perlindungan negara terhadap korban dari ancaman reviktimisasi maupun intimidasi.

“FTN membutuhkan perlindungan negara karena berpotensi kembali menjadi korban. Oleh sebab itu, kami telah mendaftarkan permohonan ke LPSK untuk memastikan hak-haknya sebagai korban dijamin,” Jelasnya.

Dalam forum gelar perkara sebelumnya, turut hadir Ketua Tim Hukum Ahmad Rianto, S.H., Hendra Tonglolangi, S.H., M.H., Nurul Hidayah, S.H., serta pihak pelapor JEC dan perwakilan dari STN.

Syahruddin berharap Polda Sulsel dapat menegakkan prinsip equality before the law (kesetaraan di hadapan hukum) sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta prinsip non-diskriminasi dalam perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan.

Sementara itu, pemerhati sosial Jupe, menilai aparat penegak hukum keliru menjadikan UU Pornografi sebagai dasar penyidikan. Menurutnya, aspek yang lebih relevan adalah penerapan UU TPKS yang secara khusus mengatur pencegahan, penanganan, dan pemidanaan kasus kekerasan seksual.

“Jika benar terdapat dugaan kekerasan seksual, aparat yang terlibat seharusnya dijerat dengan Pasal 4 huruf a dan huruf d UU TPKS mengenai pelecehan seksual fisik dan eksploitasi seksual, serta Pasal 6 UU TPKS jika terbukti ada pemaksaan hubungan seksual. Ancaman pidananya jelas, yakni penjara hingga 12 tahun dan denda maksimal Rp300 juta sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15–17 UU TPKS,” Ujar Jupe, Selasa, 26/08/2025.

Ia menilai pengabaian UU TPKS dalam kasus ini menunjukkan lemahnya keseriusan aparat dalam melindungi korban perempuan.

“Jika aparat justru terkesan melindungi pelaku sekaligus mengkriminalisasi korban, maka trust deficit masyarakat terhadap penegakan hukum akan semakin tinggi. Polda Sulsel harus bertindak tegas, transparan, dan tidak diskriminatif,” Pungkasnya.

Tim hukum Ahmad Rianto & Partners menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga FTN memperoleh kepastian hukum yang adil sesuai asas due process of law.

Bahasa ilmiah hukum: menambahkan istilah seperti kriminalisasi hukum, extra ordinary crime, reviktimisasi, equality before the law, due process of law, trust deficit.

Kekuatan konstitusional: mengaitkan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan prinsip non-diskriminasi.

Yuridis normatif: menyebutkan pasal, ancaman pidana, dan relevansi UU TPKS.

Struktur berita lebih runut: kronologi, sikap kuasa hukum, langkah perlindungan, pandangan pemerhati sosial, hingga penutup. (*411U).

Sumber : Tim kuasa hukum (*A. Muh Syahruddin)

Berita Video

×
Berita Terbaru Update