![]() |
Dokumentasi Celebes Post |
Makassar, Celebes Post — Tensi panas mewarnai lingkungan Universitas Muslim Indonesia (UMI) setelah insiden penyerangan terhadap anggota Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu Raya (IPMIL RAYA UMI) oleh sekelompok orang tak dikenal (OTK) pada Senin dan Selasa, 13–14 Oktober 2025. Peristiwa itu memantik gelombang kecaman keras dari berbagai kalangan, terutama dari Ketua IPMIL RAYA UMI, Alif, yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk “premanisme intelektual” yang mencederai marwah dunia akademik.
Premanisme di Kampus: Serangan terhadap Nalar Akademik
Dalam keterangannya kepada media, Alif menegaskan bahwa aksi kekerasan tersebut bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan juga penghinaan terhadap nilai-nilai intelektualitas dan kebebasan berpikir di lingkungan kampus.
“Ruang akademik seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk berpikir, berdiskusi, dan membangun peradaban. Ketika premanisme masuk ke lingkungan itu, yang rusak bukan hanya keamanan fisik, tapi juga marwah pendidikan,” tegas Alif di Makassar, Selasa (14/10/2025).
Ia menilai tindakan itu telah mengoyak prinsip dasar kehidupan kampus sebagai ruang peradaban dan dialektika ilmiah. Menurutnya, penyerangan semacam ini merupakan bentuk penindasan terhadap nalar kritis dan keberanian moral mahasiswa.
“Kampus tidak boleh membiarkan praktik intimidasi berkembang. Ketika rasa aman hilang, maka ekosistem akademik ikut lumpuh—mahasiswa akan takut bersuara dan berdialektika,” ujarnya.
Desakan Tegas kepada Kepolisian
Dalam pernyataannya, Alif juga menyoroti lemahnya sistem keamanan kampus dan menuntut pihak Rektorat UMI bersama Polrestabes Makassar untuk bertindak cepat. IPMIL RAYA UMI bahkan memberikan ultimatum 3x24 jam kepada aparat penegak hukum untuk menangkap para pelaku.
“Kami telah menyerahkan nama-nama pelaku kepada pihak kepolisian. Kami beri waktu 3x24 jam sejak berita ini terbit. Jika tidak ada tindakan tegas, kami akan mengambil langkah sesuai koridor hukum yang berlaku,” kata Alif dengan nada tegas.
Kecam Keras Lemahnya Perlindungan di Kampus
Alif menilai, kasus ini menjadi peringatan serius terhadap lemahnya sistem keamanan di lingkungan universitas. Ia mengingatkan bahwa kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga wadah pembinaan karakter dan organisasi mahasiswa yang seharusnya dilindungi dari praktik kekerasan.
“Keamanan adalah prasyarat utama bagi lahirnya ruang akademik yang sehat. Tanpa jaminan keamanan, proses pendidikan dan pembinaan karakter tidak akan berjalan optimal,” tambahnya.
Seruan untuk Bersatu Menolak Kekerasan
Di akhir pernyataannya, Alif menyerukan seluruh civitas akademika UMI dan organisasi mahasiswa agar bersatu menolak segala bentuk kekerasan dan premanisme di kampus.
“Tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan di kampus. Dunia akademik harus tetap menjadi ruang aman, beradab, dan berorientasi pada ilmu pengetahuan serta nilai-nilai moral,” tutupnya.
Tanggapan Hukum dari Pakar
Menanggapi hal itu, Aswandi Hijrah, S.H., M.H., pengamat hukum dan akademisi, mengecam keras tindakan kekerasan di lingkungan kampus. Ia menyebut peristiwa tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan dan perusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 dan Pasal 406 KUHP.
“Kekerasan di kampus bukan hanya masalah internal universitas, tapi juga pelanggaran hukum pidana. Polisi wajib menindak tanpa pandang bulu, karena jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan,” tegas Aswandi.
Ia juga meminta pihak rektorat tidak bersikap pasif dan harus membuka ruang koordinasi dengan aparat penegak hukum agar kampus tidak menjadi sarang konflik antarmahasiswa.
“Kampus adalah miniatur bangsa, tempat melatih intelektual dan moral. Jika premanisme dibiarkan tumbuh di dalamnya, maka rusaklah generasi yang akan datang,” pungkasnya.
Sumber: Celebes Post | Reporter: MDS (@mds)