![]() |
Dokumentasi Celebes Post |
Makassar, Celebes Post — Penyalahgunaan tanah fasilitas umum (fasum) untuk kepentingan pribadi kini kian marak di Sulawesi Selatan. Ironisnya, praktik busuk ini justru tumbuh subur di tengah lemahnya pengawasan pemerintah daerah. Banyak lahan fasum yang belum diserahkan secara resmi oleh pengembang kepada pemerintah kota maupun kabupaten, terutama di wilayah Makassar, Maros, Gowa, dan sekitarnya.
Fakta lapangan menunjukkan, sejumlah pihak kini leluasa “menyulap” tanah publik menjadi properti pribadi, tanpa rasa takut akan jerat hukum. Fasum yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, berubah menjadi ruko, warung, bahkan rumah mewah—simbol nyata pengkhianatan terhadap hak rakyat.
Fasum, Aset Publik yang Dicaplok
Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, setiap pengembang wajib menyediakan serta menyerahkan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU/Fasum) kepada pemerintah daerah setelah pembangunan selesai. Namun, aturan ini seolah hanya tulisan mati.
Berdasarkan temuan sejumlah aktivis tata ruang, ratusan hektare fasum di Kota Makassar belum tercatat sebagai aset pemerintah. Banyak pengembang yang menahan proses serah terima atau bahkan menjual lahan tersebut untuk kepentingan bisnis pribadi.
Akibatnya, ruang publik semakin menyempit. Lahan taman berubah menjadi kios, area parkir disulap menjadi ruko, sementara jalan lingkungan diubah fungsi menjadi area komersial.
Pemerintah Daerah Lemah dan Diduga Tutup Mata
Pemerhati dan Aktivis Ke Agraria an Tata Ruang dan Pertanahan Drs. Budiman S., S.Pd., S.H. menganggap fenomena ini sebagai bentuk pelanggaran hukum terstruktur yang melibatkan banyak pihak.
“Banyak fasum di Makassar dan daerah lain di Sulsel tidak pernah diserahkan secara resmi kepada pemerintah. Ini bukan sekadar keteledoran, tapi ada indikasi kuat permainan antara pengembang, pemerintah, dan lembaga pertanahan,” tegas Budiman kepada Celebes Post, Minggu (19/10/2025).
Budiman juga menyebut sejumlah developer diduga bersekongkol menipu konsumen dengan menutupi keberadaan fasum yang wajib disediakan sejak awal pembangunan perumahan.
“Setiap pengembang telah membuat masterplan dan site plan yang disahkan oleh pemerintah setempat, termasuk oleh BPN. Jika ada fasum yang berubah fungsi tanpa izin, maka itu jelas melanggar hukum,” ujarnya.
Ia menambahkan, tiga pihak harus bertanggung jawab secara hukum atas pengabaian ini: pengembang, pemerintah daerah, dan BPN.
“Warga perumahan berhak menempuh jalur hukum terhadap ketiganya karena mereka memiliki tanggung jawab hukum yang melekat atas pengelolaan fasum,” tegasnya.
Dasar Hukum dan Sanksi Pidana
Pasal 47 UU No. 1 Tahun 2011 menyatakan, pengembang wajib menyerahkan PSU kepada pemerintah daerah setelah selesai dibangun.
Sementara Pasal 69 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan, siapa pun yang mengubah fungsi ruang tanpa izin dapat dipidana penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp500 juta.
Sayangnya, sanksi tersebut jarang diterapkan. Pemerintah daerah cenderung melakukan pembiaran dengan alasan administrasi belum rampung, padahal pelanggaran sudah berlangsung bertahun-tahun.
“Ini bentuk pembiaran yang merusak rasa keadilan publik. Bila dibiarkan, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah,” kata Budiman.
Makassar Jadi Sorotan: Fasum Jadi Ruko dan Rumah Pribadi
Makassar kini masuk daftar merah sebagai daerah dengan kasus fasum bermasalah tertinggi di Sulsel. Di beberapa kawasan seperti Tamalate, Tamalanrea, Biringkanaya, dan Manggala, fasum yang seharusnya untuk taman dan area hijau justru disulap menjadi bangunan komersial.
Seorang warga di Kelurahan Parang tambung, Kecamatan Tamalate, mengaku kecewa terhadap perubahan fungsi tersebut.
“Dulu tempat kontainer sampah, setelah itu dibangun taman, tapi sekarang malah jadi ruko dan rumah. Tidak ada lagi ruang publik,” ujarnya kepada Celebes Post.
Konfirmasi Lapangan: Tanah Fasum atau Aset UNM?
Menanggapi isu salah satu lahan yang diklaim sebagai fasum di kawasan UNM Makassar, sumber internal kampus yang dihubungi Celebes Post, NK, memberikan klarifikasi tegas via whatsApp.
“Waalaikumussalam, itu bukan tanah fasum. Pemerintah lurah saat itu, Yudhistira, menjadikan tempat itu lokasi kontainer sampah, padahal masih masuk tanah IKIP. Camat waktu itu, Pak Sulaeman, bahkan memagari kawat duri hingga depan Gedung Sao Panrita. Saat itu Rektor Prof. Husein marah karena tanah itu milik IKIP (UNM), bukan fasum,” jelas NK.
Pernyataan ini mempertegas bahwa perlu ada audit faktual untuk memisahkan mana tanah publik yang sah dan mana yang sebenarnya milik institusi pendidikan atau lembaga tertentu.
Desakan Audit Terpadu dan Tindakan Hukum
Budiman mendesak Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan segera membentuk tim audit terpadu bersama BPN, untuk menelusuri status dan kepemilikan seluruh fasum yang belum diserahkan pengembang.
“Jika ditemukan pelanggaran, harus ada tindakan hukum. Jangan biarkan fasum jadi alat bisnis pengembang dan oknum pejabat. Ini menyangkut hak publik,” serunya.
Kesimpulan: Negara Tak Boleh Diam!
Maraknya perampasan fasum adalah bukti nyata lemahnya pengawasan dan mental korup di balik kebijakan tata ruang.
Tanah fasum adalah milik rakyat, bukan alat dagang bagi segelintir orang tamak.
Pemerintah daerah, pengembang, dan BPN wajib bertanggung jawab secara hukum dan moral.
Sebab ketika negara diam terhadap perampasan ruang publik, maka diamnya negara adalah bentuk restu terhadap kejahatan terhadap rakyat.
Reporter: MDS
Editor: Redaksi Celebes Post
Sumber: UU No. 1 Tahun 2011; UU No. 26 Tahun 2007; UU No. 23 Tahun 2014; Wawancara dengan Drs. Budiman S., S.Pd., S.H.; Konfirmasi NK (UNM Makassar)