Notification

×

Iklan

Iklan

Mafia Hukum di Polres Mojokerto? Jurnalis Bongkar Dugaan Pemerasan, Kekerasan, dan Jual Beli Pasal

Sabtu, 12 Juli 2025 | Juli 12, 2025 WIB Last Updated 2025-07-12T14:48:46Z
Document Arsib


Celebes Post, Mojokerto, - Praktik busuk dalam penegakan hukum kembali terkuak. Kali ini, aroma tajam dugaan mafia hukum menyeruak dari tubuh Polres Mojokerto. Investigasi mendalam yang dilakukan langsung oleh Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), Hartanto Boechori, membongkar indikasi kuat pemerasan, kekerasan terhadap tahanan, serta praktik “jual beli pasal” oleh oknum aparat.


Temuan ini muncul setelah seorang wartawan muda anggota PJI melaporkan bahwa adik iparnya, ARH (27), mengalami kekerasan dan pemerasan setelah ditangkap atas dugaan penganiayaan terhadap pacarnya. Lebih mengejutkan, pasal berat yang menjerat ARH disebut bisa "dihilangkan" dengan imbalan ratusan juta rupiah.


Awal Mula Kasus: Cinta Berujung Penjara


Kamis dini hari, 8 Mei 2025, ARH diamankan oleh Polsek Sedati, Sidoarjo. Ia dituduh menganiaya pacarnya yang telah menjalin hubungan selama 4,5 tahun. Peristiwa terjadi di dalam mobil sewaan di wilayah Pacet, Mojokerto. Siangnya, ARH dijemput oleh Unit Resmob Polres Mojokerto dan langsung diperiksa. Namun ironisnya, proses BAP (Berita Acara Pemeriksaan) berlangsung tanpa didampingi penasihat hukum, meski permintaan pendampingan sudah diajukan oleh keluarganya.


Jumat, 9 Mei 2025, keluarga ARH menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dengan jeratan Pasal 53 jo 338 KUHP (percobaan pembunuhan) atau Pasal 351 ayat 2 (penganiayaan berat). Mereka mendapati kondisi fisik ARH memprihatinkan—mata kanan lebam, penuh luka, dan penuh ketakutan.


Penyiksaan, Tekanan, dan Tawaran Uang untuk Hilangkan Pasal


Dalam pengakuannya, ARH menyebut dipukuli oleh Kanit Resmob SM dan ditekan untuk mengakui tindakan yang tak sesuai kenyataan. Lebih mengejutkan, setelah BAP ditandatangani, penyidik diduga menawarkan penghilangan pasal “percobaan pembunuhan” dengan bayaran—disebut secara samar sebagai “kacamata”, yang oleh pihak keluarga ditafsirkan sebagai permintaan uang ratusan juta rupiah.


Untuk menelusuri kebenaran, Ketua PJI menerbitkan Surat Tugas Investigasi kepada tiga jurnalis PJI, termasuk keluarga ARH. Dalam proses penyamaran yang direkam secara hati-hati, anggota PJI dipertemukan dengan oknum penyidik di belakang kantor Resmob. Negosiasi berlangsung, bahkan muncul angka Rp150 juta sebagai “mahar” untuk meringankan pasal.


Permintaan Uang Tambahan dan Dugaan Pemalsuan Dokumen


Tak hanya sampai di situ, ARH juga mengaku dimintai uang Rp10 juta saat hendak mengambil barang pribadinya yang tidak masuk dalam daftar barang bukti. Ketika anggota keluarga meminta langsung, kembali muncul kode terselubung: “Kita kan belum bicara ABC-nya.”


Fakta tak kalah mengerikan muncul saat rekonstruksi pada 9 Juli 2025. Penyidik menyatakan bahwa ARH telah didampingi penasihat hukum sejak awal. Namun, dokumen menunjukkan surat kuasa hukum baru ditandatangani pada 16 Mei 2025, jauh setelah BAP dilakukan pada 8 Mei. Jika benar, ini mengindikasikan pemalsuan dokumen hukum yang sangat serius.


Korban Cabut Laporan, Tapi Proses Hukum Jalan Terus


Yang membuat publik bertanya-tanya, sang pacar—yang menjadi korban dalam perkara ini—menyatakan secara tertulis telah memaafkan ARH dan menyatakan tidak percaya ada niat membunuh. Ia bahkan menegaskan tidak pernah merasa ARH memiliki perilaku kasar selama hubungan mereka.


Korban bersama kedua orang tuanya mengantarkan langsung surat pencabutan laporan ke Unit Resmob. Namun karena penyidik tidak ada di tempat, surat dititipkan. Hingga berita ini ditulis, belum ada kepastian apakah laporan itu benar-benar dicabut secara hukum.


Polisi Bungkam, PJI Desak Penindakan Tegas


Dua kali surat klarifikasi resmi yang dikirimkan Hartanto Boechori ke Kapolres Mojokerto dan Kasat Reskrim, tidak direspons. Bahkan saat rekonstruksi, para penyidik memilih bungkam dan buru-buru meninggalkan lokasi saat dicecar pertanyaan soal pendampingan hukum.


Hartanto menegaskan, dirinya tidak berniat mengintervensi proses hukum. Namun, ia memastikan jurnalisme investigatif berjalan sesuai etik, dan berfungsi sebagai alat kontrol publik.


“Jika benar ada tanda tangan penasihat hukum dalam BAP yang dibuat sebelum kuasa resmi diberikan, maka itu bukan hanya pelanggaran etik, tapi kejahatan. Saya minta oknum penyidik dan pengacara yang terlibat diproses secara pidana dan dipecat,” tegas Hartanto.

 

Tantangan untuk Reformasi Hukum


Kasus ini menyisakan pertanyaan besar: sejauh mana mafia hukum telah menggerogoti institusi kepolisian? Jika jual beli pasal benar terjadi, maka setiap warga negara berisiko menjadi korban kriminalisasi.


PJI menyerukan agar kasus ini menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyidikan di tubuh Polri. Propam Polda Jatim, Wassidik, dan Kapolri diminta turun tangan menindak tegas oknum yang diduga mencoreng institusi.


Penutup: Jurnalisme Sebagai Benteng Keadilan


Jurnalisme investigasi bukan ancaman bagi hukum, tapi justru pagar terakhir bagi keadilan yang mulai rapuh. Kasus ini bukan hanya tentang ARH, tapi tentang wajah buram sistem hukum kita yang harus dibersihkan dari para pelacur keadilan.


“Kami tidak menuding institusi, tapi mendesak agar setiap aparat penegak hukum yang menyalahgunakan wewenang diproses sebagaimana warga biasa. Hukum bukan alat dagang!” pungkas Hartanto Boechori.

 


📌 Catatan Redaksi: Celebes Post membuka ruang hak jawab dan konfirmasi dari Polres Mojokerto, para penyidik yang disebut, maupun penasihat hukum terkait.



Reporter: MDS | Editor: Redaksi Investigasi Celebes Post
Sumber: Laporan Jurnalisme Investigatif PJI – 12 Juli 2025

Berita Video

×
Berita Terbaru Update