![]() |
| Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Adab dan Humaniora Komisariat UIN Alauddin Makassar Cabang Kota Makassar |
CELEBES POST, MAKASSAR — Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menuai penolakan tegas dari kalangan mahasiswa. Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Adab dan Humaniora Komisariat UIN Alauddin Makassar Cabang Kota Makassar, Adhe Syafutra, menyebut wacana tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Menurut Adhe, Pilkada langsung merupakan hak politik warga negara yang sudah melekat dalam sistem demokrasi Indonesia pascareformasi. Karena itu, mencabut hak masyarakat untuk memilih kepala daerahnya secara langsung dinilai sebagai langkah mundur.
“Dalam demokrasi modern, hak memilih dan dipilih adalah esensi utama partisipasi politik rakyat. Hak ini tidak dapat direduksi atas nama efisiensi maupun kepentingan elit politik,” tegasnya.
Dinilai Bertentangan dengan Semangat Reformasi
Adhe menilai, wacana Pilkada melalui DPRD juga bertentangan dengan cita-cita Reformasi 1998 yang lahir sebagai koreksi terhadap praktik politik elitis dan sentralistik pada masa lalu.
![]() |
| Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Adab dan Humaniora Komisariat UIN Alauddin Makassar Cabang Kota Makassar |
“Mengembalikan mekanisme Pilkada ke DPRD berisiko menghidupkan kembali praktik oligarkis yang justru ingin ditinggalkan oleh agenda reformasi. Rakyat jangan lagi ditempatkan hanya sebagai objek kekuasaan,” ujarnya.
Hak Politik Rakyat Tidak Boleh Direduksi
PMII menegaskan bahwa hak-hak politik yang telah diperoleh rakyat merupakan capaian sejarah yang tidak semestinya ditarik mundur. Pembatasan ruang partisipasi politik bukan hanya bermasalah secara etika demokrasi, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap lembaga politik.
“Demokrasi yang sehat itu memperluas, bukan mempersempit partisipasi rakyat,” tambah Adhe.
Latar Belakang Wacana Pilkada Melalui DPRD
Wacana mengembalikan Pilkada ke DPRD kembali mencuat dalam diskusi politik nasional dengan alasan efisiensi anggaran dan stabilitas pemerintahan daerah. Namun, gagasan ini menuai kritik luas. Banyak pihak menilai Pilkada langsung telah memberi ruang kontrol publik terhadap kepala daerah sekaligus meningkatkan akuntabilitas.
Sejak diberlakukan pascareformasi, Pilkada langsung dianggap sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Karena itu, perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah dinilai sangat sensitif dan harus mempertimbangkan dampak sosial-politik yang luas.
PMII: Demokrasi Harus Dijaga Substansinya
PMII Kota Makassar menegaskan, demokrasi tidak boleh dipahami hanya sebatas prosedur formal. Substansi demokrasi harus tetap menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
“Alih-alih memperkuat kualitas demokrasi, Pilkada melalui DPRD justru berpotensi melemahkan akuntabilitas politik dan menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan. Ini adalah langkah mundur,” pungkas Adhe.
MDS CELEBES POST


