![]() |
Skor Final Vietnam vs Indonesia U23 |
Makassar, Celebes Post — Malam itu, stadion bukan hanya tempat bertanding — ia berubah menjadi panggung duka. Suara riuh puluhan ribu penonton perlahan berubah menjadi kesunyian yang menyesakkan. Ketika peluit panjang ditiup dan skor akhir 0-1 terpampang jelas di papan skor, kita semua tahu: bukan hanya pertandingan yang selesai, tapi juga harapan yang kembali runtuh.
Timnas Indonesia U23 kembali gagal di tanah sendiri. Bermain seperti kesatria, namun kalah seperti anak hilang yang ditinggal takdir. Vietnam yang tenang, terukur, dan efisien berhasil menaklukkan tim tuan rumah dengan satu tusukan sederhana — dari sepak pojok yang tak semestinya menjadi bencana. Namun nyatanya, bencana itu datang. Lagi-lagi.
Duka ini lebih dari sekadar kekalahan. Ini luka lama yang kembali dibuka. Luka karena pengkhianatan pada mimpi.
Kita menyaksikan pemain-pemain muda mengerahkan segalanya. Arkhan Fikri menunduk lemas. Hoky Caraka menggenggam rumput stadion seakan bertanya: “Apa lagi yang kurang?” Mereka berlari, bertarung, menangis — tapi tak pernah cukup. Karena di belakang mereka, ada sistem yang lemah, manajemen yang tambal sulam, dan visi pembinaan yang tak lebih dari wacana kosong.
Ini bukan soal keberuntungan. Ini soal perencanaan.
Sudah bertahun-tahun sepak bola kita hidup dari euforia sesaat. Kita bangga saat menang lawan Guam, histeris saat menahan imbang Thailand, tapi tak pernah duduk serius membenahi akar masalah. Sementara negara lain membangun piramida pembinaan sejak usia 8 tahun, kita masih sibuk memilih siapa yang pantas jadi ketua umum dan berdebat soal liga yang tak jelas arah.
Kekalahan dari Vietnam ini menyayat. Karena bukan hanya skor yang membuat kita sedih, tapi kesadaran pahit bahwa anak-anak muda yang rela mencucurkan darah dan keringat itu, sedang berjuang sendirian. Tanpa sistem, tanpa visi, tanpa punggung yang bisa mereka sandarkan saat jatuh.
Lalu apa solusinya? Haruskah kita terus hidup dalam siklus luka dan air mata?
Tidak. Justru sekaranglah waktunya untuk bangkit — bukan di lapangan dulu, tapi di meja perencanaan. Berikut tiga langkah konkret yang bisa dan harus segera dilakukan oleh PSSI dan seluruh pemangku kepentingan sepak bola nasional:
1. Reformasi Total Pembinaan Usia Dini
PSSI harus berhenti menjadikan kompetisi usia muda sebagai agenda pelengkap. Buat liga usia dini yang berjenjang, berkelanjutan, dan terintegrasi dari U-10 hingga U-23. Bangun sistem scouting nasional berbasis data dan pengawasan independen.
2. Profesionalisasi Manajemen Timnas
Pilih pelatih bukan karena koneksi, tapi karena kompetensi. Siapkan tim kepelatihan multidisipliner — dari pelatih fisik, psikolog olahraga, hingga analis taktik. Jangan biarkan anak-anak muda ini menanggung semua tekanan hanya dengan doa dan semangat.
3. Transparansi dan Akuntabilitas PSSI
Sudah waktunya PSSI membuka diri terhadap kritik dan audit publik. Tampilkan rencana jangka panjang secara terbuka: dari target prestasi, roadmap pembinaan, hingga evaluasi tahunan yang bisa diakses publik. Jangan lagi sembunyi di balik euforia atau kambing hitam.
Garuda memang jatuh malam itu. Tapi bukan berarti ia tak bisa terbang lagi.
Kita memiliki generasi emas yang siap bertarung — tapi mereka butuh landasan yang kokoh. Mereka butuh kepemimpinan yang benar, bukan sekadar seragam dan seremoni. Karena sepak bola bukan hanya soal menang atau kalah, tapi tentang bagaimana bangsa ini menghargai kerja keras dan menanamkan harapan.
Jangan biarkan air mata para pemain itu jatuh sia-sia. Jangan biarkan ribuan penonton pulang dengan hati kosong, hanya karena elite sepak bola negeri ini lebih sibuk bersolek daripada bekerja.
Hari ini kita kalah. Tapi jika kita berani berubah, esok kita akan menang — bukan karena keberuntungan, tapi karena kita memang layak.
#GarudaJatuh #PSSIMaluDong #SepakBolaKita #ASEANCup2025 #BangkitTimnas
@Opini_MDS