![]() |
Dr. Jessyca Picauly, S.H., M.H. |
Ambon, Celebes Post — Minuman tradisional Maluku, sopi, sejak 2016 telah ditetapkan pemerintah sebagai warisan budaya tak benda. Sebagai bagian dari perangkat adat, sopi memiliki nilai sosial, budaya, hingga spiritual yang mengakar kuat di tengah masyarakat.
Pemerintah Kota Ambon mengambil langkah strategis dengan lahirnya Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 5 Tahun 2025 tentang Sopi. Regulasi ini dihadirkan sebagai pedoman untuk mengatur pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol tradisional (MBT) tersebut, dengan tujuan utama pelestarian budaya, pemanfaatan dalam upacara adat maupun keagamaan, serta penguatan potensi ekonomi masyarakat.
Namun demikian, perdebatan muncul ketika sopi kerap dikaitkan dengan peningkatan tindak kriminalitas. Dari perspektif kriminologi, tudingan ini dinilai tidak sepenuhnya tepat. Sebab, penyebab kejahatan (causa criminis) tidak bisa disederhanakan pada satu faktor tunggal. Sopi hanyalah salah satu faktor di antara banyak sebab lain yang lebih kompleks.
Problematika Sanksi Pidana dalam Perda
Perda No. 5 Tahun 2025 khususnya Pasal 27 ayat (1), memuat ketentuan pidana:
“Setelah dikenakan semua tahapan sanksi administratif namun melanggar kembali, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Jika ditinjau dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, materi muatan Perda tidak boleh melampaui kewenangan yang ditetapkan. Pasal 15 ayat (1) UU tersebut menyebutkan, Perda hanya dapat memuat sanksi pidana berupa kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp50 juta, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Dengan demikian, ketentuan pidana dalam Pasal 27 Perda Ambon jelas bertentangan dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika bertentangan, maka secara hukum, Perda tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
Pentingnya Harmonisasi Regulasi
Ketidakharmonisan antara KUHP Nasional dan ketentuan pidana dalam Perda Ambon berpotensi menimbulkan persoalan serius:
-
perbedaan penafsiran hukum,
-
ketidakpatuhan masyarakat, dan
-
terhambatnya fungsi hukum sebagai pedoman sosial.
Oleh karena itu, diperlukan proses harmonisasi regulasi agar peraturan daerah sejalan dengan hukum nasional. Harmonisasi tidak hanya menghindari ketidakpastian hukum, tetapi juga memastikan tercapainya tujuan hukum: keteraturan, kepastian, dan keadilan.
Dampak bagi Masyarakat
Apabila regulasi ini dikaji dan diperbaiki, Perda No. 5 Tahun 2025 diharapkan mampu menghapus stigma negatif terhadap sopi yang selama ini dicap sebagai pemicu kejahatan. Sebaliknya, sopi dapat ditempatkan sebagai bagian penting dari identitas budaya Maluku sekaligus menjadi komoditas yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Sebagai catatan, peran akademisi dan pakar hukum pidana sangat penting untuk terlibat aktif dalam proses perumusan maupun revisi peraturan daerah. Dengan begitu, setiap regulasi yang lahir tidak hanya sah secara formal, tetapi juga efektif, berkeadilan, dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
Oleh: Dr. Jessyca Picauly, S.H., M.H.