![]() |
Hj. Arty Muhammadiyah |
Sidrap, Celebes Post — Aroma Ketidakadilan Kembali Tercium di Sidrap, Korban Justru Jadi Tersangka. Aroma dugaan ketidakadilan kembali menyeruak dalam penegakan hukum di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap).
Seorang perempuan bernama Nurhayati, yang semestinya berstatus sebagai korban pengeroyokan, justru ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara pihak lain yang juga telah diproses hukum, Hj.Nw, dan SY alias cendi (yang Diduga suami Hj Nw) hanya dijerat dengan dugaan penganiayaan tunggal, bukan pengeroyokan padahal fakta di lapangan menunjukkan perbuatan dilakukan bersama lebih dari satu orang.
Kronologi: Korban Diserang, Lapor Lebih Dulu, Justru Ditetapkan Tersangka
Peristiwa tersebut terjadi pada 21 Agustus 2025, sekitar pukul 16.00 WITA, di Rumah ibu NURHAYATI wilayah Kecamatan Pancarijang, Kabupaten Sidrap.
Menurut keterangan warga sekitar dan hasil penelusuran LSM Baladhika Adiyaksha Nusantara (BAN), Hj. Nw datang bersama yang diduga suaminya, SY alias Cendi, ke kediaman Nurhayati dengan maksud menagih utang. Namun, suasana pertemuan itu berubah menjadi keributan. HJ. Nw disebut marah-marah dan memukul pintu rumah, kemudian terjadi tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh Nirwana dan suaminya secara bersama-sama terhadap Nurhayati.
Akibat peristiwa tersebut, baju Nurhayati robek, tubuhnya mengalami luka fisik, dan peristiwa itu disaksikan langsung oleh beberapa warga serta cucunya yang masih kecil. Cucu Nurhayati bahkan mengalami trauma psikis karena melihat langsung neneknya dipukuli dan dikeroyok oleh orang dewasa di depan rumah. Merasa terancam dan terluka, Nurhayati segera melaporkan kejadian tersebut pada hari yang sama ke Polsek Pancarijang.
Namun, laporan itu tidak ditangani sebagai kasus pengeroyokan (Pasal 170 KUHP), melainkan hanya dikategorikan sebagai penganiayaan tunggal (Pasal 351 KUHP) — padahal keterangan saksi dan bukti fisik menunjukkan pelaku lebih dari satu orang.
“Ini janggal. Dari awal laporan, kami melihat pergeseran redaksi dari pengeroyokan menjadi penganiayaan tunggal. Padahal dari informasi lapangan, pelaku lebih dari satu orang,” ujar Hj. Arty Muhammadiyah, Ketua LSM Baladhika Adiyaksha Nusantara (BAN) DPC Sidrap, kepada Celebes Post, Rabu (8/10/25).
Lebih mencurigakan lagi, keesokan harinya (22 Agustus 2025), pihak Nw justru melapor balik ke Polres Sidrap dengan tudingan bahwa dirinya dianiaya oleh Nurhayati. Laporan tersebut langsung diterima dan diproses cepat, sementara laporan pertama Nurhayati justru tidak mendapat tindak lanjut proporsional.
Akibatnya, posisi hukum berbalik: korban berubah menjadi tersangka, sementara unsur pengeroyokan yang melibatkan Nirwana dan suaminya belum dikembangkan secara utuh oleh penyidik. Laporan Balik atas Kasus yang Sama Diduga Menyimpang dari Prinsip Hukum.
Menurut kajian hukum dari LSM Baladhika, penerimaan laporan balik atas peristiwa yang sama secara materiil merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas hukum “ne bis in idem” dan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP serta ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) KUHAP, bahwa setiap perkara pidana harus diproses secara objektif dan tidak dapat dilakukan dua kali atas kejadian yang sama.
Selain itu, dalam praktik penegakan hukum, laporan balik dalam kasus yang sama (saling lapor) berpotensi mengaburkan posisi hukum pihak korban dan membuka ruang kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan Prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, yang menegaskan bahwa penyidik wajib mengedepankan asas proporsionalitas, keadilan, dan non-diskriminatif.
“Tidak boleh ada dua laporan atas peristiwa yang sama dengan posisi para pihak yang hanya berbalik. Itu menyalahi asas ne bis in idem dan prinsip due process of law. Penerimaan laporan balik seperti ini rawan digunakan untuk mengaburkan kebenaran,” tegas Hj. Arty Muhammadiyah.
Saksi yang Dipertanyakan dan Dugaan Cacat Prosedur dalam Alat Bukti
Dalam surat klarifikasi penyidik Polres Sidrap kepada LSM Baladhika (Nomor: B/…./IX/2025/Reskrim), disebutkan bahwa proses penyidikan mengandalkan keterangan saksi-saksi dan saksi ahli sebagai dasar penetapan tersangka.
Namun hingga kini, tidak dijelaskan siapa saksi ahli yang dimaksud dalam surat tersebut menimbulkan pertanyaan serius tentang keabsahan dan independensi keterangan ahli yang digunakan. Lebih lanjut, surat klarifikasi itu juga menyebutkan nama saksi Haidir, yang diklaim memberikan keterangan mendukung laporan pelapor.
Namun hasil penelusuran LSM Baladhika menemukan bahwa Haidir tidak berada di lokasi kejadian (TKP) saat peristiwa terjadi. Dengan demikian, kesaksiannya hanya bersifat testimonium de auditu (berdasarkan cerita orang lain), yang secara hukum tidak dapat dijadikan alat bukti utama sesuai Pasal 1 angka 27 KUHAP jo. yurisprudensi MA No. 1394 K/Pid/1989.
“Penyidik menyebut ada saksi ahli, tapi tidak dijelaskan siapa dan di mana keterlibatannya. Bahkan ada saksi bernama Haidir yang disebut dalam klarifikasi penyidik ternyata tidak berada di TKP. Ini harus diuji ulang kebenarannya, karena berpotensi menyesatkan arah penyidikan,” tegas Hj. Arty Muhammadiyah. Selain persoalan saksi, alat bukti visum et repertum juga menimbulkan tanda tanya besar.
Berdasarkan dokumen, laporan polisi dibuat 22 Agustus 2025, sedangkan visum baru dilakukan 12 September 2025 — terpaut hampir tiga minggu setelah kejadian.
“Secara forensik, visum yang dilakukan jauh setelah kejadian sangat lemah pembuktiannya, karena luka bisa berubah atau sembuh. Ini rawan menimbulkan kesimpulan yang tidak akurat,” tambah Hj. Arty.
Pakar Hukum: Pembelaan Diri Tidak Bisa Dikriminalisasi
Pakar Hukum Pidana Aswandi Hijrah, S.H., M.H., menegaskan bahwa jika benar Nurhayati bertindak karena adanya serangan terlebih dahulu dari pihak lain, maka hal itu termasuk pembelaan diri yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP:
“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan diri karena ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, tidak dapat dipidana.”
“Apabila seseorang mempertahankan diri dari ancaman nyata, tindakannya tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Jika korban pembelaan diri malah dijadikan tersangka, maka itu bentuk penyimpangan serius dalam penegakan hukum,” tegas Aswandi kepada Celebes Post.
Ia juga menyoroti objektivitas penyidikan, terutama karena adanya saksi yang memiliki hubungan keluarga dengan pelapor, dan saksi lain yang tidak menyaksikan langsung kejadian.
“Dalam hukum acara pidana, saksi harus melihat, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa. Kesaksian dari pihak yang tidak berada di tempat kejadian tidak bisa dijadikan dasar utama dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka,” jelasnya.
LSM Baladhika Desak Audit dan Evaluasi Proses Penyidikan
LSM Baladhika Adiyaksha Nusantara (BAN) DPC Sidrap menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan. Menurut Hj. Arty Muhammadiyah, pihaknya akan melaporkan secara resmi ke Bidpropam Polda Sulsel, Komnas HAM, dan Ombudsman RI Perwakilan Sulsel guna mendorong evaluasi atas dugaan penyimpangan prosedur penyidikan.
“Kami tidak mencari sensasi, tapi memperjuangkan keadilan. Jika aparat penyidik bekerja tidak objektif, maka lembaga pengawas harus turun tangan,” tegasnya.
Menurutnya, langkah ini bukan hanya demi Nurhayati, melainkan sebagai bentuk perlawanan moral terhadap praktik hukum yang diskriminatif dan merugikan masyarakat kecil.
Hukum Harus Jadi Pelindung, Bukan Alat Penekan
Kasus ini menjadi potret nyata kerapuhan penegakan hukum di tingkat daerah. Laporan korban yang lebih dulu masuk diabaikan, sementara laporan balik ditangani cepat tanpa keseimbangan penyelidikan yang memadai.
“Hukum seharusnya menjadi pelindung bagi korban dan pencari keadilan. Bila hukum justru digunakan untuk menekan pihak lemah, maka kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum akan terus terkikis,” tutup Aswandi Hijrah.
@mds