![]() |
| Hasil Perhitungan Suara |
CELEBES POST, MAKASSAR — BTN Tirasa Sudiang kini bukan lagi sekadar kawasan hunian. Ia berubah menjadi saksi bisu dari ambruknya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi paling dasar: pemilihan Ketua RT. Suara warga, yang seharusnya menjadi penentu masa depan lingkungan, justru tenggelam dalam tsunami kecurigaan, manipulasi, dan keputusan sepihak yang membakar amarah banyak orang.
Di balik pintu-pintu rumah yang masih menyisakan sisa-sisa poster kampanye, ada kekecewaan mendalam. Ada warga yang merasa dicurangi, ada yang merasa dikhianati, ada pula yang mulai mempertanyakan: Jika di tingkat RT saja suara bisa dicuri, bagaimana nasib demokrasi di atasnya?
RT 05: “20 Suara Siluman” yang Mencoreng Harga Diri Pemilih
Di RT 05, fakta yang terkuak seolah menampar kewarasan publik.
Dari 98 surat suara, tersisa 52, sehingga hanya 46 yang seharusnya digunakan. Namun panitia mencatat 66 suara terpakai — selisih 20 suara yang tidak bisa dijelaskan siapa pemiliknya, dari mana asalnya, dan bagaimana bisa muncul.
Calon Ketua RT 05, Zul, tak berbasa-basi lagi. Ia menyebut temuan itu sebagai pemerkosaan terhadap integritas pemilihan.
“Ini bukan sekadar janggal. Ini pelanggaran yang telanjang. Dua puluh suara tidak mungkin muncul dari udara. Ada tangan-tangan yang bermain. Ada niat buruk di balik angka-angka ini,” tegas Zul.
Ia bahkan menyebut adanya 10 suara siluman yang tak tercatat dalam daftar pemilih.
“Mereka pikir kami tidak tahu menghitung? Mereka pikir kami bisa dibungkam? Tidak. Kecurangan seperti ini harus dibongkar sampai ke akar,” tambahnya.
Warga yang mengetahui selisih tersebut hampir tidak percaya. Beberapa ibu rumah tangga sampai meneteskan air mata saat mendengar hasil itu kembali dibacakan.
“Kami datang, kami pilih, kami jaga. Tapi apa balasannya? Suara kami dicampakkan, diganti suara hantu,” ujar seorang warga sambil menahan emosi.
RT 04: Hasil Seri yang Dipatahkan dengan Keputusan Sepihak — “Pengkhianatan Itu Nyata!”
Jika RT 05 berada dalam pusaran perang angka, maka RT 04 dilanda badai pengkhianatan moral.
Dua calon, Rahmawati dan M. Darwis, sama-sama meraih 43 suara. Seharusnya, hasil seri ditindaklanjuti dengan mekanisme lanjutan: musyawarah, putaran kedua, atau kesepakatan resmi.
Namun yang terjadi justru di luar akal sehat: M. Darwis tiba-tiba menyerahkan kemenangan kepada Rahmawati, tanpa meminta persetujuan pendukungnya, tanpa musyawarah, tanpa proses formal.
Warga menyebut tindakan itu sebagai “pengkhianatan secara massif”, karena bukan hanya keputusan pribadi — tetapi mematikan suara puluhan pemilih yang rela antri berjam-jam.
“Dia tidak hanya menyerahkan suara sendiri. Dia menyerahkan suara kami. Kami merasa dibuang, tidak dianggap,” ujar seorang pendukung yang suaranya pecah menahan amarah.
Dugaan intervensi politik lokal mulai mencuat. Beberapa warga menduga adanya tekanan dari pihak tertentu agar hasil pemilihan diarahkan ke satu kandidat.
“Semua serba mendadak. Suasana berubah dalam hitungan menit. Seperti ada skenario yang sudah disiapkan,” ungkap warga lain.
Lebih mengejutkan lagi, penetapan suara tidak sah disebut tidak memiliki dasar yang jelas. Ada surat suara yang dianggap sah di TPS sebelah, tapi tidak sah di RT 04.
“Ini bukan ketidaksengajaan. Ini pola,” tegas salah satu tokoh warga.
Warga Menolak Diam — Tuntutan Audit Total Menggema Dari Lorong ke Lorong
Kini warga menuntut:
Audit menyeluruh terhadap semua surat suara,
Pengungkapan siapa yang bertanggung jawab atas selisih 20 suara,
Penjelasan tertulis terkait penetapan suara tidak sah,
Mekanisme penyelesaian hasil seri yang objektif,
Pemilihan ulang tanpa kompromi jika terbukti ada pelanggaran.
Malam-malam BTN Tirasa kini diwarnai diskusi warga yang semakin panas. Di pos ronda, kasur gulungan, hingga teras rumah, warga bicara dengan satu nada: “Keadilan tidak boleh mati di RT kami.”
Regulasi Lemah, Konflik Menguat
Permendagri 18/2018 hanya mengatur keberadaan RT secara struktural, tetapi tidak mengatur teknis pemilihan. Ketiadaan regulasi ini menjadi celah subur bagi panitia yang tidak profesional atau oknum yang ingin bermain di balik layar.
Seorang pemerhati pemerintahan menilai:
“Kekacauan seperti ini adalah produk dari sistem yang dibiarkan kabur. Ketika aturan tidak jelas, kecurangan menjadi mudah, penyalahgunaan wewenang menjadi murah.”
Pemerintah Diminta Hadir Sebelum Konflik Membesar
Warga mendesak Kelurahan Sudiang dan Kecamatan Biringkanaya untuk segera turun tangan. Mereka tidak ingin keributan ini berubah menjadi konflik horizontal yang menyasar hubungan bertetangga.
“Sebelum luka ini membesar, kami butuh obatnya. Dan itu adalah kebenaran,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Namun hingga berita ini diturunkan, panitia pemilihan dan pihak Kelurahan belum memberikan pernyataan resmi. Keheningan itu justru mempertebal kecurigaan warga.
BTN Tirasa kini menunggu, dengan satu pertanyaan menggantung di langit malam:
Apakah keadilan akan ditegakkan, bukan demokrasi PAUD yang akan diterapkan
MDS/ARN
