Notification

×

Iklan

Iklan

Dugaan Pemerasan Berkedok Pers: Oknum Wartawati Asal Sulut Diduga Intimidasi Instansi dan Pengusaha di Sulsel

Jumat, 19 Desember 2025 | Desember 19, 2025 WIB Last Updated 2025-12-19T01:51:04Z
Dokumentasi Celebes Post 


CELEBES POST, BONE, Sulawesi Selatan — Dunia pers kembali tercoreng. Seorang perempuan berinisial RS, yang diketahui bernama Rosna (dalam sejumlah laporan juga disebut Lisda), diduga menyalahgunakan profesi wartawan untuk melakukan tekanan, intimidasi, hingga praktik pemerasan terhadap instansi pemerintah dan pelaku usaha di wilayah Sulawesi Selatan.


Menurut keterangan sejumlah pihak yang mengaku menjadi korban, RS kerap menerbitkan berita bernada negatif tanpa proses konfirmasi maupun verifikasi sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers No. 40 Tahun 1999. Setelah berita tayang, pihak yang diberitakan kemudian dihubungi dan diminta menyetor sejumlah uang agar berita tersebut dihentikan, tidak dilanjutkan, atau diturunkan.


Nominal yang diminta disebut bervariasi mulai Rp5 juta per berita. Dalam beberapa kasus, uang diminta sebelum berita dipublikasikan, lalu kembali dimintai tambahan setelah berita naik tayang.


Diduga Catut Jabatan Media


RS mengaku sebagai Kepala Biro Sulawesi dari sebuah media online bernama ReportaseIndonesianews.
Saat dikonfirmasi, Pimpinan Redaksi ReportaseIndonesianews, Mas Yadi, membenarkan RS pernah tercatat sebagai Kepala Biro. Namun, ia menegaskan redaksi tidak mengetahui dan tidak pernah menginstruksikan tindakan yang diduga dilakukan RS.


“Benar yang bersangkutan tercatat sebagai Kepala Biro, tetapi perbuatan yang diduga itu tidak pernah kami ketahui. Jika terbukti, tentu akan kami tindak dan beri teguran,” ujar Mas Yadi.

 


Situasi makin keruh setelah muncul sosok lain bernama Lisda yang menghubungi sejumlah pihak dan mengaku sebagai pimpinan ReportaseIndonesia.
Klaim ini dibantah keras oleh Mas Yadi.


“Kami tidak mengenal nama tersebut. Dia bukan bagian dari struktur redaksi, bukan wartawan kami, dan tidak memiliki jabatan apa pun di media ini,” tegasnya.

 


Mas Yadi menyatakan, pihaknya akan menelusuri dugaan pencatutan nama media dan mengambil langkah tegas secara etik maupun hukum.


Dikaitkan dengan Kelompok Premanisme Berkedok LSM dan Pers


Dugaan kian menguat setelah beredar informasi bahwa RS terhubung dengan sekelompok individu yang diduga berpraktik premanisme berkedok LSM dan wartawan di Kabupaten Bone.
Kelompok ini disebut-sebut menghentikan kendaraan angkutan seperti mobil tangki dan truk, mengambil dokumentasi, serta menginterogasi sopir tanpa dasar kewenangan hukum.










Salah satu nama yang muncul adalah HR alias Herman, warga Jalan Ahmad Yani, Kabupaten Bone. HR diduga bukan aparat ataupun petugas resmi yang memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan di jalan raya.


Apabila penghentian itu disertai permintaan uang, tindakan tersebut dapat mengarah pada dugaan pemerasan. Bila permintaan tidak dipenuhi, kasus justru diangkat ke media tertentu sebagai bentuk tekanan dan intimidasi publik.


Istilah “86” dan Maraknya Uang Damai


Dalam konteks inilah nama RS kembali mencuat.
Pemberitaan disebut dijadikan alat tekanan: tanpa verifikasi, tanpa keberimbangan, dan jauh dari etika pers.
Istilah “86” beredar luas, yang merujuk pada dugaan uang damai setelah berita ditayangkan.


Seorang korban mengaku dimintai Rp3 juta sebelum berita terbit, lalu kembali diminta Rp5 juta agar berita diturunkan.
Bahkan muncul pihak lain yang mengaku sebagai pimpinan pusat media, menawarkan penyelesaian damai. Setelah dicek, nama tersebut tidak dikenal pemilik media resmi, sehingga diduga kuat bagian dari jaringan pencatut nama media.


“Itu bukan bagian dari kami. Jangan ditanggapi. Kami juga dirugikan oleh pencatutan nama media,” ujar salah satu pemilik media yang identitasnya dicatut.

 


Berpotensi Melanggar UU dan Etika Jurnalistik


Jika rangkaian dugaan ini terbukti, tindakan tersebut berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum, antara lain:


Pemerasan


Pencemaran nama baik


Pelanggaran UU Pers No. 40/1999


Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ)



Pers idealnya bekerja berdasarkan fakta, konfirmasi, dan keberimbangan, bukan menjadi alat tekanan atau transaksi.


Desakan Penegakan Hukum


Redaksi menilai Aparat Penegak Hukum (APH) perlu mengambil sikap tegas dan objektif agar praktik serupa tidak terus berulang dan merugikan masyarakat, khususnya pelaku usaha, sopir angkutan, serta instansi yang menjadi sasaran.


Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bahwa profesi wartawan bukan tameng untuk intimidasi, melainkan tanggung jawab moral untuk menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang.



SEL - CELEBES POST

Banner Utama

coklat-inspirasi-berita-baru-instagram-post-20241022-060924-0000
×
Berita Terbaru Update