Notification

×

Iklan

Iklan

Tanah Leluhur Diambil Negara, Wija To Luwu Melawan!

Selasa, 03 Juni 2025 | Juni 03, 2025 WIB Last Updated 2025-06-03T13:32:07Z
Aksi Solidaritas Luwu Raya Darurat Kapitalisasi Agraria


Makassar, Celebes post — Deru suara lantang mahasiswa membelah senja di depan Gedung DPRD Sulawesi Selatan. Spanduk merah mencolok bertuliskan “Luwu Raya Darurat Kapitalisasi Agraria” terbentang, menjadi simbol perlawanan terhadap negara yang dinilai abai terhadap hak tanah masyarakat adat. Di balik kerumunan itu, teriakan: “Tanah kami, hidup kami!” terus menggema.


Hari itu, Selasa (3/6), bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah jeritan rakyat Luwu yang terbungkam oleh peta proyek negara. Mereka datang dengan satu tujuan: menggugat perampasan tanah oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang, yang diduga telah mengklaim lahan milik warga Desa Bolong, Kecamatan Walenrang Utara, Kabupaten Luwu, secara sepihak.


Dulu Warisan Leluhur, Kini Milik Negara?


Tanah yang dipertahankan warga sejak sebelum pembangunan bendungan pada tahun 1980-an, kini secara misterius telah bersertifikat atas nama BBWS. Tidak ada sosialisasi. Tidak ada musyawarah. Tidak ada ganti rugi. Tidak ada keadilan.


“Ini bukan hanya soal tanah, ini tentang eksistensi masyarakat adat yang dilenyapkan tanpa suara,” tegas Agip, Ketua IPMIL Raya UNM, dalam orasinya. “BBWS telah melanggar prinsip keadilan sosial dan hukum. Mereka main rampas, tanpa legitimasi hukum yang layak.


Empat Tuntutan, Satu Tekad: Lawan Mafia Tanah


Aliansi Wija To Luwu, yang terdiri dari 10 organisasi mahasiswa dan pemuda asal Luwu Raya, menyuarakan empat tuntutan utama:

  1. Membatalkan sertifikat tanah yang diklaim BBWS secara sepihak di Kabupaten Luwu.

  2. Mencopot Kepala BBWS Pompengan Jeneberang sebagai simbol kegagalan institusi dalam menghormati hak masyarakat.

  3. Menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Sulsel, masyarakat terdampak, dan kementerian terkait.

  4. Melakukan audit menyeluruh terhadap proyek bendungan dan sistem pengendalian banjir BBWS yang terbukti tak efektif.


Mereka menilai, konflik tanah ini bukan insiden tunggal. Ini bagian dari pola sistematis kapitalisasi agraria di Luwu Raya yang terus menggerus hak masyarakat adat atas nama pembangunan.


Negara Dinilai Diam dan Abai


Mirisnya, pemerintah pusat maupun provinsi dinilai lamban merespons. Sementara banjir terus melanda wilayah Luwu setiap musim hujan akibat buruknya pengelolaan wilayah sungai, rakyat justru harus menanggung kehilangan tanah, mata pencaharian, dan rasa aman.


“Negara tidak hanya merampas tanah kami, tapi juga masa depan kami,” kata salah satu demonstran yang enggan disebutkan namanya. “Di mana keadilan jika tanah leluhur kami tiba-tiba disertifikasi tanpa persetujuan?”


Dari Jalan ke Meja Hukum


Usai aksi di DPRD, massa bergerak ke kantor BBWS Pompengan Jeneberang. Mereka menuntut kejelasan administratif secara terbuka dan menegaskan bahwa perlawanan tak akan berhenti sampai hak-hak masyarakat adat dipulihkan.


Langkah hukum, kata mereka, tengah dipertimbangkan. Termasuk menggandeng lembaga bantuan hukum dan tokoh-tokoh nasional yang peduli terhadap hak masyarakat adat dan reforma agraria.


Suara dari Luwu, Gema untuk Indonesia


Apa yang terjadi di Luwu hari ini bisa terjadi di mana saja: ketika negara terlalu mudah mengorbankan rakyat demi proyek, ketika tanah lebih dihitung nilainya daripada pemiliknya, ketika suara rakyat kalah oleh tumpukan sertifikat dan segel.


Aliansi Wija To Luwu hanya satu dari sekian banyak kelompok yang menyuarakan kegelisahan kaum kecil yang tertindas sistem. Tapi keberanian mereka hari ini mungkin menjadi percikan api yang akan membakar ketidakadilan agraria yang menahun.


“Tanah bisa dicaplok, tapi tidak dengan semangat kami,” tutup Agip dengan lantang. “Kami adalah Wija To Luwu. Kami akan terus berdiri.”

 


Reporter: Nunu  – Celebes Post
Editor: MDS



Berita Video

×
Berita Terbaru Update