![]() |
Ilustrasi Pertambangan |
Makassar, Celebes Post — Indonesia adalah negeri yang luar biasa kaya. Gunung, lembah, dan perut buminya menyimpan emas, batu bara, nikel, tembaga, hingga timah. Tapi pertanyaan besarnya: mengapa kekayaan tambang itu belum juga mengantar Indonesia menjadi kekuatan ekonomi supermasif?
Faktanya, meski puluhan tahun hasil tambang menyumbang devisa, membuka lapangan kerja, dan mengisi kas negara, sektor ini belum mampu menjadi tulang punggung stabilitas ekonomi nasional.
Hasil Tambang Masih Dijual Mentah, Indonesia Rugi Besar
Masalah utamanya ada pada satu kata: hilirisasi. Mayoritas hasil tambang Indonesia masih dijual dalam bentuk mentah. Negara-negara lain membeli bahan tambang dari kita, lalu mengolahnya, dan menjual kembali dalam bentuk barang jadi — bahkan ke pasar Indonesia — dengan harga berkali lipat.
"Selama kita hanya menjual bijih mentah, kita hanya jadi sapi perah industri global. Negara lain yang kaya dari tanah kita," tegas Agen Mounthe, aktivis ekonomi kerakyatan dan tokoh Forum Penggerak Tambang Berkeadilan.
Data dari Kementerian ESDM tahun 2024 menunjukkan bahwa:
Ekspor nikel mentah hanya bernilai sekitar US$ 30 per ton,
Namun setelah diolah jadi stainless steel, nilainya naik drastis jadi US$ 2.000–2.500 per ton.
Artinya, Indonesia kehilangan potensi keuntungan hingga ribuan persen per ton, hanya karena tak mengelola sendiri bahan tambangnya.
Warisan Jokowi: Hilirisasi Mandek di Tengah Jalan
Sejak era Presiden Joko Widodo, hilirisasi tambang digadang-gadang sebagai solusi strategis. Pemerintah bahkan sudah melarang ekspor beberapa komoditas mentah. Namun, kebijakan itu belum sepenuhnya berjalan mulus.
Menurut Agen Mounthe, hambatan hilirisasi tidak hanya soal teknis, tapi juga soal politik kebijakan dan keberanian negara melawan kepentingan besar.
"Banyak pengusaha besar dan mafia tambang yang justru nyaman mengekspor mentah karena cepat untung. Pemerintah harus tegas dan berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa," tegas Mounthe.
Akbar Hidayat: Hukum Harus Tegas terhadap Ekspor Ilegal dan Tambang Liar
Akbar Hidayat, SH., M.H., pakar hukum dan kebijakan publik, menyoroti lemahnya penegakan hukum di sektor pertambangan. Menurutnya, praktik ekspor ilegal, tambang tanpa izin (PETI), hingga kongkalikong antara oknum pejabat dan pengusaha hitam adalah penghambat utama hilirisasi.
"Selama hukum tak ditegakkan dengan adil, sektor tambang akan terus jadi ladang rente, bukan motor ekonomi nasional," tegas Akbar Hidayat.
Ia mendorong dibentuknya lembaga pengawas independen sektor tambang, serta pembaruan regulasi yang berpihak pada pengolahan dalam negeri dan pelibatan masyarakat lokal.
Ekonomi Supermasif? Tanpa Tambang yang Diolah, Itu Ilusi
Impian Indonesia menjadi negara ekonomi besar (supermasif) hanya bisa dicapai jika sektor strategis seperti tambang dikelola dengan pendekatan berdaulat, berkelanjutan, dan berkeadilan. Bukan hanya jadi alat ekspor bahan mentah, tetapi jadi pilar pembangunan industri nasional.
"Kita harus mengubah cara pandang. Tambang bukan sekadar komoditas dagang, tapi sumber masa depan bangsa," tutur Mounthe.
Solusi Nyata: Bergerak Bersama, Bukan Sendiri
Untuk menjadikan tambang sebagai lokomotif ekonomi, dibutuhkan:
Percepatan pembangunan smelter di daerah penghasil
Insentif bagi industri hilir yang berbasis tambang
Pemberdayaan masyarakat lokal dan tenaga kerja terampil
Pengawasan ketat terhadap ekspor ilegal dan tambang liar
Regulasi jangka panjang yang konsisten dan berpihak pada nasionalisasi nilai tambah
Kesimpulan: Indonesia Harus Jadi Raja di Rumah Sendiri
Kita tidak bisa terus menjual tanah kita ke luar negeri, lalu membeli kembali dalam bentuk produk jadi dengan harga berkali lipat. Negara ini terlalu kaya untuk terus bergantung pada pola ekonomi kolonial: keruk, kirim, rugi.
"Tambang harus jadi senjata utama menuju ekonomi mandiri. Kalau tidak, kita akan terus jadi buruh di tanah sendiri," pungkas Mounthe dengan nada tegas.
Catatan Redaksi:
Laporan ini merupakan bagian dari liputan investigatif Celebes Post mengenai potensi dan paradoks sektor pertambangan Indonesia.
Oleh: MDS – Celebes Post
Selasa, 1 Juli 2025 | Makassar