![]() |
Dokumentasi Seremonial |
Di Hotel Remcy, cerita-cerita yang biasanya hanya jadi bisik-bisik, kini dituangkan ke dalam tulisan
Makassar, Celebes Post – Udara siang di Hotel Remcy, Panakkukang, terasa berbeda pada Selasa (12/8/2025). Bukan sekadar ruangan berpendingin dan meja berlapis kain putih yang membuatnya nyaman, melainkan semangat yang memancar dari 19 wajah peserta yang duduk melingkar. Mereka bukan jurnalis profesional. Mereka adalah anggota komunitas ragam gender yang membawa cerita hidup masing-masing—cerita yang jarang terdengar di panggung besar.
Hari itu, PKBI Sulawesi Selatan melalui Program INKLUSI, dengan dukungan PKBI Pusat dan Cowater International, menggelar Pelatihan Penulisan Pembelajaran Terbaik dan Citizen Journalism. Tujuannya sederhana tapi bermakna: membantu mereka menulis dan membagikan kisah perjuangan, keberhasilan, dan tantangan yang dialami, agar dunia tahu mereka ada dan layak dihargai.
“Banyak kisah hebat di komunitas ini yang tenggelam karena tidak terdokumentasi. Pelatihan ini adalah langkah awal agar cerita mereka bukan hanya didengar, tapi juga diakui,” kata Koordinator Program inklusi PKBI daerah Sulawesi selatan, membuka acara dengan nada yang penuh empati.
![]() |
Dokumentasi Seremonial |
![]() |
Dokumentasi Seremonial |
![]() |
Dokumentasi Seremonial |
![]() |
Dokumentasi Seremonial |
![]() |
Dokumentasi Seremonial |
Di sesi pertama, Suwarny Dammar dari Forum Jurnalis Inklusi–SINDO memandu peserta memahami dasar-dasar Street News dan teknik Most Significant Change—cara bercerita yang mengangkat momen perubahan paling bermakna. Dengan suara hangat, ia mengajarkan bahwa menulis bukan soal indahnya kata, tapi kejujuran hati.
“Mulailah dari pengalaman yang paling membekas. Jangan takut menulis apa adanya. Tulisan yang jujur akan menemukan pembacanya,” ujar Suwarny, sambil membimbing peserta menuangkan kisah mereka ke kertas.
Setelah istirahat, giliran Mustakin Dg Sikota, jurnalis Celebes Post, memperkenalkan konsep Citizen Journalism. Ia menjelaskan bahwa siapa pun bisa jadi penulis berita, asalkan tahu caranya menjaga keberimbangan informasi dan keamanan narasumber.
“Jurnalisme warga adalah tentang kebebasan bercerita, tapi juga tentang tanggung jawab. Kita menulis bukan hanya untuk didengar, tapi untuk memberi dampak,” katanya.
Di meja-meja, cerita mulai bermunculan. Ada kisah tentang perjuangan mengakses layanan kesehatan, ada tentang seni pertunjukan yang menjadi ruang aman, dan ada pula cerita tentang keberhasilan mendapatkan bantuan sosial setelah perjuangan panjang.
Sore menjelang, suasana ruangan terasa seperti rumah. Peserta tak hanya belajar menulis, tapi juga saling membaca dan memberi masukan. Di akhir sesi, mereka sepakat untuk terus menulis dan membagikan cerita, melalui media sosial, blog, hingga media massa.
“Rasanya seperti menemukan suara sendiri,” ucap Keisya, salah satu peserta, sambil menatap lembar tulisannya.
Pelatihan ditutup dengan senyum, pelukan, dan komitmen: mulai hari ini, mereka bukan lagi sekadar penerima cerita, tapi penulisnya. Dan dari tangan-tangan mereka, dunia akan mengenal cerita yang selama ini tersembunyi.
@makmurtuge