![]() |
| Dokumentasi Celebes Post |
Jakarta, Celebes Post — Kasus dugaan kriminalisasi terhadap seorang ibu bernama Rina Rismala Soetarya bersama bayinya yang masih berusia sembilan bulan, kini memasuki babak baru yang kian menuai sorotan publik. Meski sempat ditangguhkan penahanannya, proses hukum yang sejatinya berakar dari sengketa perdata jual-beli mobil antara Apiner Semu (pelapor) dan Rina Rismala (terlapor) tetap saja dilanjutkan secara pidana oleh oknum penyidik Polres Jakarta Pusat.
Padahal, menurut berbagai pihak, kasus ini lebih tepat diselesaikan melalui jalur perdata karena berhubungan dengan perjanjian jual beli yang bisa dimediasi secara damai. Namun, niat baik untuk berdamai dari kedua belah pihak tampaknya tak diindahkan. Proses hukum tetap digulirkan, bahkan dengan dugaan aroma “balas dendam” dan “setoran uang” yang menguar di balik layar.
Dugaan Setoran Rp50 Juta Jadi Pemicu?
Sumber internal tim kuasa hukum korban menyebut, terdapat indikasi kuat oknum penyidik Polres Jakarta Pusat menekan pihak keluarga korban untuk menyerahkan sejumlah uang. Angkanya tidak main-main — Rp50 juta — yang diklaim sebagai “biaya pengganti operasional atasan” dan “akomodasi koordinasi ke Kejari Jakarta Pusat”.
“Penyidik terang-terangan menyampaikan bahwa kalau uang itu diserahkan, perkara akan ditutup. Tapi karena tidak ada setoran, kasus tetap jalan,” ungkap seorang narasumber terpercaya yang juga merupakan advokat nasional, kepada Celebes Post, Selasa (14/10/2025).
Menurut sumber tersebut, kekesalan penyidik semakin memuncak setelah kasus ini menjadi viral di media nasional, menyoroti dugaan kriminalisasi seorang ibu dengan bayi di bawah satu tahun. “Mereka dendam karena pemberitaan, katanya citra institusi mereka rusak. Akhirnya, kasus ini dipaksakan naik terus,” ujarnya.
Wilson Lalengke: ‘Polisi Endonesah, Uang Mengatur Segalanya’
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, tak bisa menyembunyikan keprihatinannya. Ia menilai kasus seperti ini mencerminkan wajah buram penegakan hukum di Indonesia.
“Yaa, mau bilang apa lagi? Kata kawan saya, seorang polisi, ‘itulah Polisi Endonesah’, yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Hepeng mangator nagara on — uang yang mengatur negara ini,” sindir alumni Lemhannas RI PPRA 48 Tahun 2012 itu, Selasa (14/10/2025).
Wilson juga menegaskan bahwa praktik kriminalisasi seperti ini harus segera diakhiri. “Hukum tidak boleh menjadi alat pemerasan. Kalau Polri tidak segera bersih-bersih, publik akan semakin kehilangan kepercayaan,” tegasnya.
Jaksa Dinilai Tak Berhati Nurani
Kini, kasus tersebut telah beralih ke tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Namun, alih-alih mempertimbangkan sisi kemanusiaan, jaksa justru bersikap kaku dan ngotot melanjutkan penahanan.
Menurut Ujang Kosasih, S.H., salah satu kuasa hukum tersangka dari Tim Hukum PPWI, penahanan itu sangat tidak berdasar. “Pasal yang disangkakan ancamannya di bawah lima tahun, artinya tidak wajib ditahan. Tapi jaksa tetap bersikeras. Akibatnya, Ibu Rina dipisahkan dari bayinya yang baru sembilan bulan,” kata Ujang, dengan nada kecewa.
Ia menyesalkan sikap jaksa yang, meskipun seorang perempuan, tidak menunjukkan empati. “Dia bilang punya kewenangan sendiri untuk menahan tersangka. Tapi di mana hati nurani itu ketika seorang ibu harus dijauhkan dari anaknya yang masih menyusu?” ujarnya lirih.
Langkah Hukum Balasan: Gugat Kapolri dan Jaksa Agung
Tim kuasa hukum PPWI memastikan tidak akan tinggal diam. Mereka tengah menyiapkan gugatan pra-peradilan sekaligus laporan resmi ke Divisi Propam Polri dan Komisi Kejaksaan RI.
“Kami akan menggugat Kapolri dan Jaksa Agung karena banyak kejanggalan dalam proses ini. Dari penetapan tersangka sampai penahanan, semuanya janggal dan sarat rekayasa,” tegas Ujang Kosasih, yang juga advokat asal Banten itu.
Ia menambahkan bahwa publik sudah menyaksikan sendiri bagaimana kasus ini menjadi sorotan nasional, dan kini menjadi cermin buram penegakan hukum di negeri ini. “Kami akan terus kawal kasus ini sampai keadilan ditegakkan dan aparat yang bermain kotor ditindak tegas,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa keadilan tidak boleh dikomodifikasi. Saat hukum menjadi alat kekuasaan dan uang berbicara lebih lantang dari nurani, maka bukan hanya korban yang terluka, tetapi martabat bangsa ikut tercabik.
Reporter: MDS
Editor: Celebes Post Investigasi
