![]() |
Ilustrasi Picture |
Makassar, Celebes Post — Di balik jargon manis “peningkatan mutu pendidikan”, Sulawesi Selatan kembali diguncang skandal. Program Penguatan Pembelajaran Mata Pelajaran Khusus tahun 2025 yang digadang-gadang sebagai inovasi justru terendus sebagai ladang korupsi berjamaah. Dengan anggaran fantastis Rp14,5 miliar, proyek ini dinilai hanya memperkaya pejabat, sementara kepala sekolah dipaksa tunduk dan terancam dijadikan tumbal hukum.
Modus Potongan dan Mark Up
Investigasi Celebes Post menemukan pola penyalahgunaan anggaran yang mengkhawatirkan. Dari 323 sekolah penerima program, setiap sekolah wajib membuka kelas dengan biaya terstruktur: Rp10 juta per kelas untuk narasumber, dan Rp15 juta untuk paket Language-Math Digital Camp.
Namun, uang itu tidak pernah utuh sampai ke sekolah. Potongan 20–30 persen dilakukan secara sistematis. Biaya camp diduga juga mengalami mark up gila-gilaan.
“Ini bukan lagi soal mutu pendidikan, ini proyek yang sudah diatur dari atas. Sekolah hanya dijadikan stempel,” ujar seorang kepala sekolah di Makassar yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kepala Sekolah Dipaksa, Pejabat Untung
Beberapa kepala sekolah mengaku dalam posisi tertekan. Menolak berarti berhadapan dengan risiko mutasi, evaluasi, bahkan jerat hukum.
“Kalau ada masalah, yang dipanggil pasti kepala sekolah. Padahal semua kebijakan datang dari dinas,” keluh salah satu kepala sekolah di Jeneponto.
Situasi ini mengingatkan publik pada kasus Ramadhan Mengaji yang menyeret puluhan kepala sekolah ke meja pemeriksaan. Seolah sejarah kelam itu hendak diulang.
Dalih Kadisdik: SK Sebagai Legitimasi
Kepala Dinas Pendidikan Sulsel, H. Andi Iqbal Najamuddin, mencoba meredam isu dengan menyatakan program sah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kadisdik. Namun dalih ini dianggap rapuh.
“SK bukan tameng hukum. Kalau ada potongan dan mark up, itu tetap korupsi,” tegas Aswandi Hijrah, S.H., M.H., pakar hukum pidana.
Menurutnya, program ini berpotensi menjerat pejabat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Tipikor, antara lain:
Pasal 2 UU Tipikor → penjara seumur hidup atau 4–20 tahun, denda Rp200 juta–Rp1 miliar.
Pasal 3 UU Tipikor → penjara seumur hidup atau 1–20 tahun, denda Rp50 juta–Rp1 miliar.
Pasal 12 huruf e → penjara seumur hidup atau 4–20 tahun, denda Rp200 juta–Rp1 miliar.
“Jangan jadikan kepala sekolah sebagai kambing hitam. Aparat harus berani menyelidiki sampai ke akar, termasuk siapa yang menyusun skema program ini,” tambah Aswandi.
Lemkira: Bongkar Jaringan Mafia Anggaran!
Ketua LSM Lemkira, Rizal Rahman, lebih keras lagi menyebut program ini tak ubahnya jaringan mafia anggaran.
“Ini bukan inovasi pendidikan, ini bancakan anggaran. Kepala sekolah ditekan, sementara pejabat menikmati hasilnya. Kami mendesak aparat hukum untuk turun tangan. Kalau tidak, Lemkira siap bawa kasus ini ke KPK,” tegas Rizal.
Ia menilai, pola seperti ini akan terus terjadi selama pemerintah provinsi menutup mata.
“Kalau gubernur diam, ini akan jadi bom waktu. Yang hancur bukan hanya sekolah, tapi masa depan generasi Sulsel,” tambahnya.
Bom Waktu Pendidikan Sulsel
Skandal Rp14,5 miliar ini hanyalah satu dari sekian indikasi buruknya tata kelola pendidikan di Sulsel. Publik khawatir, jika pola korupsi berjamaah ini dibiarkan, dana pendidikan hanya akan menjadi mesin penghisap uang rakyat, bukan sarana mencerdaskan anak bangsa.
“Pendidikan Sulsel darurat! Kalau aparat dan gubernur tidak bertindak, kasus ini akan melahirkan korban massal. Sulsel bisa runtuh oleh mafia anggaran,” tutup Rizal Rahman dengan nada geram.
Liputan ini menegaskan: ada skema sistematis dugaan korupsi dalam program pendidikan Sulsel. Modusnya jelas: potongan, mark up, dan pemaksaan. Korbannya adalah kepala sekolah dan generasi penerus bangsa. Aparat penegak hukum kini ditantang untuk membongkar jaringan mafia ini sebelum semuanya terlambat.
Sumber: DPP LEMKIRA
Redaksi: Celebes Post
Editor: MDS