![]() |
| Kontradiksi THM dan Masjid |
CELEBES POST, Makassar — Lampu warna-warni menyala terang ketika malam merayap di kawasan Jalan Sungai Walanae tembusan Jalan Syarif Al Qadri, Makassar. Dentuman musik elektronik terdengar hingga ratusan meter, menembus dinding rumah warga dan memantul ke kubah Masjid Miftahul Khayr yang berdiri tak jauh dari lokasi. Di balik papan nama Noyu Eat & Drink, aktivitas malam berlangsung jauh melampaui citra sebuah kafe biasa.
Tim Celebes Post menelusuri jejak operasional Noyu Eat & Drink setelah Perhimpunan Remaja Masjid (Prima) DMI Sulawesi Selatan secara terbuka mendesak pemerintah menutup permanen tempat tersebut. Desakan itu bukan tanpa dasar.
Kafe dengan Wajah Ganda
Secara administratif, Noyu Eat & Drink tercatat sebagai usaha kuliner. Namun hasil penelusuran lapangan menunjukkan fakta berbeda. Pada malam tertentu—terutama Rabu dan akhir pekan—peralatan DJ set, pencahayaan klub malam, serta tata suara berdaya tinggi dioperasikan layaknya Tempat Hiburan Malam (THM).
Seorang warga sekitar mengaku, perubahan itu berlangsung perlahan.
“Awalnya hanya tempat nongkrong. Sekarang sudah seperti diskotik kecil. Musik keras sampai subuh,” ujarnya, meminta identitasnya dirahasiakan.
Pantauan tim redaksi pada salah satu akhir pekan menunjukkan aktivitas berlangsung hingga pukul 03.30 WITA, melewati batas jam operasional yang lazim diberlakukan untuk kafe di kawasan permukiman.
Jarak Masjid dan Sensitivitas Sosial
Yang membuat persoalan ini kian sensitif adalah kedekatan lokasi Noyu Eat & Drink dengan Masjid Miftahul Khayr. Jaraknya diperkirakan hanya puluhan meter. Saat azan berkumandang, sisa dentuman bass masih terasa di udara.
“Ini bukan soal selera musik, tapi soal etika ruang publik,” kata Tarmidzi Tahir, Ketua Prima DMI Sulsel.
“Masjid adalah pusat pembinaan moral. Ketika di sekitarnya tumbuh aktivitas hiburan malam berkedok kafe, negara harus hadir,” ujarnya.
Izin yang Dipertanyakan
Pertanyaan krusial muncul: apakah aktivitas yang dijalankan sejalan dengan izin usaha yang dikantongi? Hingga berita ini diturunkan, tidak ada dokumen terbuka yang menunjukkan perubahan peruntukan izin dari kafe menjadi tempat hiburan malam.
Seorang pemerhati tata kelola perizinan di Makassar yang dihubungi redaksi menyebut, praktik semacam ini kerap terjadi.
“Modusnya klasik: izin kafe, operasional THM. Lemahnya pengawasan membuat pelanggaran seolah dibiarkan,” katanya.
Jika dugaan ini terbukti, maka bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga pembiaran sistemik oleh aparat pengawas.
Warga di Tengah Kebisingan
Dampak langsung dirasakan warga sekitar. Laporan tentang kebisingan, keributan antar pengunjung, hingga gangguan keamanan terus bermunculan.
“Hampir setiap akhir pekan ada ribut. Anak-anak kami susah tidur,” kata seorang ibu rumah tangga yang tinggal tak jauh dari lokasi.
Beberapa warga mengaku enggan melapor secara resmi karena khawatir akan dampak sosial dan keamanan. Ketakutan itu mencerminkan ketimpangan relasi antara warga dan pelaku usaha hiburan malam.
Negara Absen?
Prima DMI Sulsel menilai kasus Noyu Eat & Drink sebagai ujian serius bagi komitmen pemerintah daerah dalam menegakkan aturan.
“Kami tidak anti usaha. Tapi jika izin dilanggar, jika ketertiban umum terganggu, dan nilai agama diabaikan, maka penutupan permanen adalah konsekuensi hukum,” tegas Tarmidzi.
Hingga kini, Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, maupun instansi pengawas belum memberikan pernyataan resmi. Sikap diam ini justru memperbesar pertanyaan publik: apakah pengawasan berjalan, atau justru ada pembiaran?
Menunggu Tindakan
Kasus Noyu Eat & Drink bukan sekadar soal satu kafe. Ia mencerminkan persoalan lebih besar tentang ketegasan negara terhadap pelanggaran izin, perlindungan ruang ibadah, dan hak warga atas ketenangan hidup.
Jika tak ada tindakan, publik berhak bertanya:
berapa banyak “kafe” lain yang sesungguhnya adalah THM, dan berapa lama negara akan terus menutup mata?
Laporan Investigatif: Dhany
Editor: Redaksi MDS

