![]() |
Tampak Depan Pengadilan Negeri Barru |
Celebes Post Barru – Aroma ketidakadilan menyeruak tajam di ruang sidang Pengadilan Negeri Barru. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan dengan disabilitas ganda, hanya menuntut terdakwa dengan pidana tiga tahun penjara. Tuntutan ringan ini sontak memicu gelombang protes dari keluarga korban, aktivis perlindungan anak, dan organisasi masyarakat sipil yang menilai jaksa bersikap tidak netral dan gagal mewakili rasa keadilan publik.
Korban diketahui merupakan anak dengan keterbatasan fisik dan intelektual, yang menempatkannya dalam posisi sangat rentan terhadap kekerasan. Namun dalam proses persidangan, JPU tidak menuntut hukuman maksimal sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
UU TPKS secara tegas memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual, khususnya kelompok rentan, termasuk anak dan penyandang disabilitas, dengan ancaman hukuman berat yang bisa mencapai 15 tahun penjara atau lebih, tergantung pada tingkat keparahan dan kondisi korban. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU TPKS, disebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak dengan disabilitas merupakan kejahatan yang diperberat.
Sidang yang digelar pekan kemarin Jumat 9 Mei 2025 sempat memanas ketika Ketua Majelis Hakim, Imelda, S.H., menginterupsi pembacaan tuntutan jaksa dan mempertanyakan secara terbuka dasar tuntutan yang dianggap janggal.
“Apakah Anda yakin, Pak Jaksa, atas tuntutan tiga tahun ini? Ini perkara luar biasa. Ini soal kekerasan seksual terhadap anak yang bahkan mengalami disabilitas ganda,” ucap hakim dengan nada tegas.
Pernyataan hakim ini mempertegas kegelisahan peradilan terhadap lemahnya sikap penuntutan, yang tidak mencerminkan keadilan substantif bagi korban maupun masyarakat luas.
Pihak keluarga korban, melalui kuasa hukumnya, menyatakan keberatan keras dan mempertimbangkan langkah hukum lanjutan.
“Tiga tahun untuk penderitaan seumur hidup anak kami? Ini sungguh tidak adil. Kami menduga ada kejanggalan serius dalam proses penanganan perkara ini,” ujar seorang kerabat korban.
Lembaga Perlindungan Anak dan sejumlah organisasi masyarakat sipil juga mengecam tindakan JPU yang dinilai abai terhadap rasa empati dan keadilan bagi penyintas disabilitas.
“Jika aparat penegak hukum saja tidak mampu berpihak kepada korban, khususnya anak-anak dengan disabilitas, maka ini bukan lagi sekadar perkara hukum, tapi cermin kegagalan negara melindungi warganya yang paling lemah,” tegas DF, aktivis perempuan dan anak dari Makassar.
Mereka mendesak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Komisi Kejaksaan RI untuk segera melakukan investigasi dan evaluasi terhadap jaksa terkait.
Kasus ini menjadi preseden buruk yang kembali menyorot rendahnya sensitivitas sebagian aparat dalam menangani perkara kekerasan seksual terhadap anak, terlebih mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Masyarakat kini menanti: apakah majelis hakim akan menunjukkan keberanian berpihak pada korban, atau larut dalam tuntutan yang dinilai menyesakkan nurani.
MDS – Celebes Post