Notification

×

Iklan

Iklan

1-20250413-190548-0000 2-20250413-190548-0001®

Tanpa RDP, Rekomendasi Penutupan Salon Nita Dinilai Cacat Prosedural dan Sarat Kepentingan

Jumat, 02 Mei 2025 | Mei 02, 2025 WIB Last Updated 2025-05-02T15:27:35Z
Salah Satu Dugaan Wartawan Sekaligus LSM Masuk Ke Salon Yang sementara diadakan sidang lapangan oleh pengadilan negeri Barru 


Celebes Post Barru – Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Barru yang merekomendasikan penutupan sementara usaha Salon Nita di Kompleks Ruko Pekkae, Kecamatan Tanete Rilau, menuai sorotan tajam dari sejumlah kalangan. Pasalnya, keputusan tersebut dikeluarkan tanpa melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), sebuah mekanisme penting dalam menegakkan asas keterbukaan dan keadilan.


Sebagaimana diketahui, rekomendasi tersebut dikeluarkan menyusul surat masuk dari Forum Jurnalis Barru (FJB) yang melaporkan dugaan praktik tidak senonoh berupa pijat plus-plus dan karaoke di lokasi usaha tersebut. Namun alih-alih menindaklanjuti dengan RDP untuk mendengar langsung pihak-pihak terkait, Bamus DPRD Barru justru langsung mengeluarkan rekomendasi penutupan.


Ibu Korban Asusila sekaligus pemilik salon Anak Disabilitas 

Dugaan Tersangka Diamankan Pihak Pengadilan negeri Barru 


“Ini bentuk tindakan yang tidak melalui prosedur legislatif yang benar. DPRD sebagai lembaga representasi rakyat seharusnya memberikan ruang klarifikasi kepada pihak yang dituduh melalui forum resmi seperti RDP, bukan langsung mengambil keputusan sepihak,” ujar salah satu pengamat hukum tata negara di Barru, Ungkap Haswandi Hijrah Direktur Firma Hukum Keadilan Nusantara.


Sikap Ketua Komisi II DPRD Barru, Syamsu Rijal, yang menyatakan bahwa surat dari FJB "tidak perlu RDP" dan cukup langsung direkomendasikan penutupan, dinilai bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi dan keadilan bagi semua pihak.


“DPRD bukan aparat penegak hukum. Fungsi mereka adalah menyerap dan menyalurkan aspirasi serta mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, serahkan ke kepolisian. Tugas DPRD adalah memfasilitasi mediasi, bukan jadi eksekutor,” tegas AC, salah satu tokoh masyarakat Pekkae.


Lebih jauh, upaya penutupan usaha Salon Nita ini disebut-sebut tidak lepas dari konteks lain yang sedang berlangsung di wilayah hukum Barru. Diketahui, saat ini tengah berjalan proses hukum di Pengadilan Negeri Barru terkait dugaan kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas keterbatasan mental. Mirisnya, korban dalam kasus tersebut adalah pemilik usaha Salon Nita sendiri.


“Ini menjadi sangat janggal ketika korban yang sedang mencari keadilan justru diserang dengan isu usaha tempatnya bekerja yang kemudian direkomendasikan untuk ditutup tanpa pembuktian langsung,” ungkap salah satu aktivis perempuan di Barru.


Pakar isu gender dan keadilan korban dari lembaga Fremin Issue Hidayat Akbar, SH., M.H., menyatakan bahwa pola-pola seperti ini bukanlah hal baru. “Kerap kali ketika seorang perempuan atau pihak tertentu sedang memperjuangkan keadilan dalam kasus asusila, muncul upaya tekanan balik dengan menggunakan jalur moralitas atau isu sosial untuk menekan balik korban. Orientasinya kadang menjadi alat pertukaran kasus atas kasus yang sedang berlangsung,” kata Hidayat Akbar, SH., M.H., .


Di sisi lain, sejumlah warga mempertanyakan kebenaran laporan FJB yang dijadikan dasar keputusan Bamus. "Apa sudah ada bukti kuat? Apa sudah dengar langsung klarifikasi pemilik usaha? Jangan-jangan ini hanya berdasarkan desas-desus dan tekanan moral," ujar salah satu warga sekitar yang juga meminta identitasnya dirahasiakan.


Secara aturan, Peraturan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa setiap laporan masyarakat yang mengarah pada rekomendasi tindakan terhadap individu atau badan usaha harus melalui proses klarifikasi dalam forum RDP yang melibatkan semua pihak: pelapor, terlapor, dan instansi terkait. Tanpa itu, keputusan dianggap tidak memiliki kekuatan moral dan legal yang memadai.


Pakar hukum administrasi publik, Pirman, SH., M.H., juga menilai keputusan Bamus sebagai tindakan yang berpotensi melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). “Kalau tidak melalui proses due process of law, maka ini bisa digugat. Pemilik usaha berhak menuntut klarifikasi, hak jawab, bahkan ganti rugi jika merasa dirugikan secara sepihak,” ujarnya.


Polemik ini menandakan pentingnya DPRD untuk tetap berada dalam rel aturan yang mengikat agar tidak terjebak dalam tindakan reaktif yang dapat menimbulkan preseden buruk dalam penegakan keadilan di daerah.


MDS - Celebes Post

Berita Video

×
Berita Terbaru Update