![]() |
Korban Kekerasan seksual anak disabilitas ganda (berkebutuhan khusus) |
Celebes Post Barru, Sulawesi Selatan, — Gelombang kekecewaan dan kemarahan publik merebak usai tuntutan ringan dijatuhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas ganda di Pengadilan Negeri Barru. Dalam sidang perkara Nomor: 11/Pid.Sus/2025/PN Bar, jaksa hanya menuntut hukuman tiga tahun penjara, meskipun terdapat bukti visum yang mengungkap kekerasan seksual fisik terhadap korban berusia 19 tahun yang menyandang disabilitas intelektual.
Fakta-fakta Mengerikan yang Diabaikan
Korban mengalami pelecehan seksual secara fisik, termasuk tangan pelaku yang dimasukkan ke dalam pakaian korban. Visum menunjukkan luka lecet pada organ reproduksi dan memar di paha kanan. Sepanjang persidangan, terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun.
Namun ironisnya, tuntutan yang diajukan jaksa justru sangat ringan dan dianggap jauh dari rasa keadilan.
Tanggapan Keras dari Ahli Hukum:
“Tuntutan Ini Menyesatkan”
Pakar hukum pidana, Pirman, S.H., M.H., mengecam keras tuntutan jaksa. Ia menyatakan bahwa perbuatan terdakwa seharusnya dijerat Pasal 15 jo Pasal 6 huruf c dan huruf d UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, karena dilakukan terhadap korban dengan kondisi disabilitas dan mencakup penetrasi non-konsensual sebagai bentuk kekerasan seksual berat.
“Ini bentuk kekerasan seksual berat terhadap kelompok disabilitas ganda, dan sudah masuk unsur pemberatan. Ancaman pidananya maksimal 15 tahun, bahkan dapat ditambah sepertiga karena dilakukan terhadap penyandang disabilitas (Pasal 60 UU TPKS). Menuntut hanya tiga tahun adalah bentuk pembiaran sistematis,” tegas Pirman.
Pirman juga menyoroti bahwa jaksa seharusnya mewakili negara dalam melindungi warga negara yang paling rentan.
Front Pembebasan Rakyat: Jika Negara Abai, Rakyat Akan Bertindak
Tak hanya kalangan hukum, Front Pembebasan Rakyat (FPR) melalui aktivisnya, Alif Daisuri, turut menyuarakan kemarahan. Ia menyebut tuntutan ringan terhadap pelaku adalah tamparan keras bagi perjuangan keadilan bagi kaum disabilitas.
“Ini bukan sekadar pencabulan, ini adalah kekerasan seksual terhadap anak dengan disabilitas ganda. Jika negara tidak memberikan hukuman maksimal, kami akan turun ke jalan. Ini soal prinsip, soal martabat, dan soal kemanusiaan,” tegas Alif.
Alif menyatakan FPR akan menggalang solidaritas nasional dan melakukan aksi besar jika hakim nantinya menjatuhkan vonis ringan.
Tuntutan Salinan Tertutup, Dugaan Pelanggaran Etik
Pendamping hukum korban juga menyesalkan sikap tertutup Kejaksaan yang menolak memberikan salinan surat tuntutan tanpa alasan sah. Mereka menilai hal ini berpotensi melanggar etik dan profesionalisme jaksa.
“Kami menyerahkan nomor perkara ini kepada publik dan lembaga pengawas untuk dievaluasi menyeluruh. Jangan biarkan institusi hukum menjadi alat impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap kelompok rentan,” ungkap pendamping korban.
Desakan Evaluasi dan Pemecatan Jaksa
Pendamping hukum, bersama jaringan sipil dan advokat, mendesak Komisi Kejaksaan, Kejaksaan Agung, serta Komnas Perempuan agar segera melakukan pemeriksaan mendalam terhadap JPU dalam perkara ini. Jika ditemukan kelalaian atau kesengajaan dalam menurunkan tuntutan, mereka menuntut agar jaksa tersebut dipecat.
Reporter: MDS
Media: Celebes Post
Lokasi: Barru, Sulawesi Selatan