![]() |
| Dokumentasi Korban Beserta Gugatan Pelaku |
Takalar, Celebes Post – Penegakan hukum di Kabupaten Takalar kembali tercoreng. Kasus dugaan penganiayaan brutal terhadap Mote, warga Takalar, yang sudah dilaporkan ke Polres melalui LP/B/270/IX/2024/SPKT/POLRES, hingga kini belum menemui titik terang. Nyaris setahun berjalan, kasus ini seolah dibiarkan jalan di tempat, membuat keluarga korban kian putus asa.
“Kami sudah hampir setahun menunggu, tapi sampai hari ini belum ada kejelasan. Baik informasi secara lisan maupun tertulis dari Reskrim tidak pernah kami terima,” keluh istri korban kepada Celebes Post, Kamis (9/9/2025).
Informasi resmi terakhir yang diterima keluarga hanyalah SP2HP A3 pada Januari 2025. Surat itu menyebut adanya lanjutan penyidikan dengan menetapkan lelaki berinisial KA sebagai terlapor. Namun, setelahnya, semua komunikasi antara penyidik dan keluarga korban terputus.
Empat Orang Diduga Terlibat
Istri korban, yang sehari-hari hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga, menyebut pelaku penganiayaan berjumlah empat orang. Dua pria berinisial KdGs dan Jl disebut memegangi korban, KA menjadi eksekutor, sedangkan seorang perempuan berinisial Mn diduga sebagai aktor intelektual yang memberi perintah menghabisi korban.
“Jika situasi ini terus dibiarkan, kami akan mengadu ke Propam Polda maupun Wasidik. Kami lelah dipermainkan. Kami tidak butuh belas kasihan, yang kami minta hanya keadilan,” tegasnya.
Intervensi Desa dan Mediasi Aneh
Luka batin keluarga korban makin bertambah setelah muncul proses mediasi yang diprakarsai oleh pihak desa. Anehnya, mediasi itu dilakukan tanpa melibatkan aparat kepolisian secara langsung.
“Mediasi ini jelas janggal. Kami memang manusia biasa yang bisa memaafkan, tapi perbuatan penganiayaan adalah pidana. Tidak bisa ditawar-tawar, apalagi hanya dimediasi di tingkat desa,” ungkap korban.
Lebih jauh, korban juga harus menghadapi gugatan perdata senilai Rp80 juta atas dugaan wanprestasi perjanjian dengan kepala desa. Gugatan tersebut dinilai keluarga sebagai bentuk tekanan balik, seolah-olah korban dijadikan pesakitan ganda: dianiaya secara fisik, lalu dijerat secara hukum.
Kekeliruan Kuasa Hukum Pelaku
Sementara itu, langkah kuasa hukum pelaku dinilai sarat kekeliruan. Dalam sejumlah kesempatan, pihak kuasa hukum disebut berupaya mencampuradukkan perkara pidana dengan gugatan perdata. Mereka beralasan perdamaian yang pernah dilakukan di desa sudah cukup menyelesaikan persoalan.
Namun, menurut pakar hukum, dalih ini tidak berdasar.
“Penganiayaan adalah tindak pidana murni sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP. Perkara pidana tidak bisa serta merta gugur hanya karena ada gugatan perdata. Itu jelas kekeliruan berpikir dari kuasa hukum pelaku,” tegas Aswandi Hijrah, SH., M.H.
Lebih lanjut, Aswandi menyebut kepolisian wajib memberi perkembangan hasil penyidikan. “Pasal 102 dan 109 KUHAP mengatur jelas soal kewajiban penyidik menyampaikan SP2HP secara berkala. Jika hampir setahun tidak ada kabar, itu bentuk kelalaian serius,” tambahnya.
Ia juga menegaskan, perdamaian hanya bisa dijadikan alasan meringankan, bukan menghapus tindak pidana. “Jika aparat tidak tegas, keluarga korban berhak melapor ke Propam atau Wasidik agar ada pengawasan terhadap penyidik.”
Diamnya Polisi, Hilangnya Keadilan
Hingga berita ini diturunkan, pihak media menunggu konfirmasi dari pihak kepolisian maupun kuasa hukum pelaku dan memberikan konfirmasi resmi.
Diamnya pihak-pihak ini hanya menambah panjang daftar pertanyaan publik: ada apa dengan penegakan hukum di Takalar?
Bagi keluarga korban, keadilan kini terasa semakin jauh. Mereka bukan hanya menjadi korban penganiayaan, tetapi juga korban dari sistem hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Reporter: @mds
Celebes Post | Takalar, 13 September 2025
