Notification

×

Iklan

Iklan

Janji Manis Asuransi, Derita Seorang Ibu: Ketika Kematian Dibalas dengan Tudingan Bohong

Rabu, 08 Oktober 2025 | Oktober 08, 2025 WIB Last Updated 2025-10-08T04:43:56Z
Gambar ilustrasi : Janji Manis Asuransi, Derita Seorang Ibu: Ketika Kematian Dibalas dengan Tudingan Bohong


Makassar, Celebes Post - Tangis Mardiana, seorang ibu sederhana di Makassar, pecah saat mengenang perjuangannya mencari keadilan sejak kematian suaminya pada 7 Maret 2012. Bukannya menerima santunan dari polis BNI Life yang telah mereka bayar setiap bulan, ia justru disambut tudingan keji: “Suami Ibu berbohong soal penyakitnya.”

 

“Saya tidak pernah bohong, suami saya sehat saat ambil kredit. Kalau semua orang dianggap bohong karena punya penyakit gula, lalu siapa yang jujur di dunia ini?” ucap Mardiana lirih, menahan isak.


Datang Tiga Orang dari “BNI Life Pusat”


Sebulan setelah suaminya dikebumikan, tiga pria berpakaian rapi datang ke rumahnya. Mereka mengaku dari BNI Life pusat, membawa berkas dan wajah dingin.

 

“Mereka bilang ada kebohongan dalam data suami saya,” kisah Mardiana.
“Katanya, mereka tahu dari rumah sakit kalau suami saya pernah dirawat. Jadi asuransinya tidak bisa dicairkan.”



Padahal, jelas Mardiana, suaminya sempat sehat dan aktif bekerja saat menandatangani perjanjian kredit. Penyakitnya hanya diabetes ringan, bukan sesuatu yang disembunyikan.


“Waktu ambil kredit itu, dia masih kuat kerja, jalan kaki ke bank sendiri. Tapi mereka bilang ‘berbohong’. Saya bilang, suami saya sudah meninggal, jangan lagi dihina,” ucapnya, matanya berkaca-kaca.

 


Dalih Bank dan Asuransi: “Plafon di Bawah 500 Juta Tak Dicek Medis”


Dalam pertemuan itu, salah satu petugas berkilah bahwa pemeriksaan kesehatan hanya dilakukan untuk pinjaman di atas Rp500 juta. Karena plafon pinjaman suaminya tidak sampai jumlah itu, maka tidak dilakukan pemeriksaan medis.


Ironisnya, dalih yang sama digunakan untuk menolak klaim. Seolah-olah mereka menutup mata terhadap kewajiban sendiri.


“Katanya, kalau di bawah 500 juta, tidak dicek penyakitnya. Tapi waktu meninggal, malah itu dijadikan alasan untuk menolak. Ini kan tidak masuk akal,” tegas Mardiana.


Penawaran “Jebakan”: Kembalikan Premi, Tapi Tetap Harus Bayar Kredit


Alih-alih menolong, pihak asuransi justru menawarkan pengembalian uang ansuransi yang telah dibayar, dengan syarat Mardiana tetap melanjutkan cicilan rumah sebesar Rp5 juta per bulan.


“Saya tolak. Buat apa dikembalikan uangnya kalau saya tetap harus bayar sampai lunas? Bukannya asuransi itu untuk membantu kalau yang peminjam meninggal?” ujarnya kecewa.

 


Mardiana Melawan: Menang di Pengadilan Negeri, Tumbang di Banding


Didorong rasa tidak adil, Mardiana bersama rekan suaminya, Anto, membawa kasus ini ke Pengadilan Negeri.
Hasilnya menggembirakan: hakim memenangkan pihak Mardiana.
Putusan itu menyebut bahwa klaim asuransi seharusnya dibayarkan.


Namun kemenangan itu tak bertahan lama. BNI Life mengajukan banding ke Jakarta.
Dan di situlah perjuangan Mardiana berhenti — bukan karena kalah argumen, tapi karena kalah oleh kemiskinan.


“Saya tidak punya biaya ke Jakarta. Saya cuma ibu rumah tangga, mau makan saja sudah susah,” ucapnya, menatap kosong.


Rumah Nyaris Disita: “Digaris Kuning Seperti Barang Tak Bernyawa”


Tahun berikutnya, 2013, datanglah petugas bank. Bukan untuk memberi kabar baik, tapi untuk menagih utang.


“Mereka bilang saya menunggak, dan rumah mau digaris kuning. Saya kaget. Saya pikir, setelah suami meninggal dan ada asuransi, semuanya selesai,” kenang Mardiana.


Rumah yang menjadi satu-satunya tempat berteduhnya kini terancam disita.
Yang tersisa hanya selembar surat kematian dan kenangan pahit tentang janji perlindungan yang tak pernah ditepati.


Pakar Hukum: “BNI Life Harus Bertanggung Jawab”


Menanggapi kasus tersebut, Aswandi Hijrah, S.H., M.H., pakar hukum perlindungan konsumen dan perbankan, menegaskan bahwa tindakan penolakan klaim asuransi tanpa bukti kuat merupakan pelanggaran kontrak dan berpotensi wanprestasi.


“Jika premi dibayar rutin dan polis aktif, maka perusahaan asuransi wajib menunaikan kewajibannya. Dalih soal ‘riwayat penyakit’ tidak bisa dijadikan dasar sepihak untuk lari dari tanggung jawab,” tegas Aswandi.

 


Ia juga mengutip Pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, dan harus dijalankan dengan itikad baik.


Lebih jauh, Aswandi menyoroti aspek moral:

 

“Asuransi seharusnya menjadi pelindung di saat duka, bukan menambah luka. Jika benar seperti yang disampaikan Ibu Mardiana, ini adalah bentuk ketidakadilan yang serius.”


Seruan Keadilan: “OJK Harus Turun Tangan”


Aswandi mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar turun tangan mengusut dugaan pelanggaran dalam penolakan klaim ini.

 

“Kita bicara soal kemanusiaan. Jangan biarkan rakyat kecil diperlakukan seperti angka statistik. Asuransi besar seharusnya punya hati, bukan sekadar hitung untung-rugi,” katanya dengan nada geram.



Harapan Seorang Ibu


Kini, 13 tahun sudah berlalu.
Mardiana tak lagi menuntut uang, ia hanya ingin nama suaminya dipulihkan dari tuduhan bohong, dan utang yang ditinggalkan diputihkan, sebagaimana bank lain pernah melakukannya.


“Saya cuma mau nama suami saya bersih. Kalau yang meninggal saja masih dituduh bohong, di mana nurani mereka?” tutup Mardiana dengan suara bergetar.



Catatan Akhir: Antara Hukum dan Nurani


Kasus ini bukan sekadar sengketa asuransi, tapi potret kelam hubungan antara lembaga keuangan besar dan masyarakat kecil.
Di satu sisi ada aturan, di sisi lain ada kemanusiaan.
Dan di tengahnya — seorang ibu yang terus berjuang agar kebenaran tak terkubur bersama makam suaminya.



Reporter: MDS – Celebes Post
Editor: Aisyah Rahman
Lokasi: Makassar

Berita Video

×
Berita Terbaru Update