Notification

×

Iklan

Iklan

Kasus Asusila Jeneponto, Publik Desak Kapolda Sulsel Bertindak

Kamis, 02 Oktober 2025 | Oktober 02, 2025 WIB Last Updated 2025-10-02T14:52:42Z



CelebesPost Jeneponto – Penegakan hukum di Sulawesi Selatan kembali dipertanyakan. FTN, seorang buruh perempuan yang diduga menjadi korban asusila oknum polisi Briptu (JYC), justru ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Kejaksaan Negeri Jeneponto pada Ribu, 01/10/2025.


Padahal, fakta sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) telah membuktikan keterlibatan langsung Briptu JYC dalam hubungan terlarang dan pembuatan konten pornografi dengan FTN. Ironisnya, alih-alih diproses pidana, JYC hanya dijatuhi sanksi etik, sementara FTN malah dikriminalisasi.


Fakta Sidang Etik: Polisi Terbukti, Korban Dijerat

Dalam putusan KKEP Nomor PUT/12/IX/2025/KKEP tanggal 18 September 2025, Briptu JYC terbukti:

Melakukan hubungan layaknya suami istri dengan FTN tanpa ikatan pernikahan.


Melakukan video call sex (VCS) tanpa busana.

Atas perbuatan tercela itu, ia hanya dijatuhi sanksi etik berupa demosi 8 tahun ke Polres Jeneponto, wajib menyampaikan permintaan maaf lisan dan tertulis, serta penempatan khusus selama 21 hari.


Namun, bukti kuat yang seharusnya membuka jalan bagi proses pidana terhadap Briptu JYC justru berbalik arah: FTN yang ditetapkan sebagai tersangka tunggal.


Kuasa Hukum: Penyidikan Timpang, Korban Dikriminalisasi

Kuasa hukum FTN dari Law Office Akhmad Rianto & Partners menilai penetapan tersangka terhadap kliennya sarat kejanggalan.


Kronologi bermula saat Briptu JYC, yang sudah beristri, mengajak FTN — mantan pacarnya — melakukan VCS. Percakapan itu kemudian di-screenshot oleh keduanya. Ironisnya, foto-foto tanpa busana justru dijadikan alat bukti untuk menjerat FTN.


“Penyidikan sangat timpang. Briptu JYC yang menginisiasi VCS dan istrinya, U, yang menyimpan serta menyebarkan gambar pornografi justru dibiarkan. Hanya FTN yang dikorbankan,” Tegas tim kuasa hukum.


Menurut mereka, baik Briptu JYC maupun istrinya U jelas memenuhi unsur pelanggaran UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, di antaranya:

Pasal 5: setiap orang yang mengunduh atau menyebarkan pornografi.


Pasal 6: menyimpan dan mempertontonkan produk pornografi.


Pasal 8b & Pasal 9: menjadikan orang lain sebagai objek atau model pornografi.


“Jika merujuk UU Pornografi, jelas keduanya bisa dijadikan tersangka. Tetapi, justru FTN yang dikriminalisasi,” tandas pengacara.


Negara Seharusnya Melindungi, Bukan Menghukum

UU Pornografi juga menegaskan bahwa perempuan dan anak wajib dilindungi dari dampak pornografi. Negara bahkan diwajibkan memberikan pendampingan hukum, perlindungan sosial, dan pemulihan bagi korban.


“FTN adalah seorang buruh, tulang punggung keluarga. Alih-alih dilindungi, ia justru dipenjara. Ini bentuk nyata kriminalisasi terhadap perempuan kecil yang tidak berdaya menghadapi aparat berseragam,” Ungkap kuasa hukum.


Tantangan Serius untuk Kapolda Sulsel, Kasus ini menjadi ujian berat bagi Kapolda Sulawesi Selatan yang baru menjabat. Publik menanti sikap tegas pimpinan Polda untuk membuktikan integritas aparat dan mencegah diskriminasi hukum.


Tim hukum FTN menegaskan, ada tiga langkah yang harus dilakukan:

Menindaklanjuti dugaan pidana yang terbukti dalam sidang etik Briptu JYC. Menghentikan kriminalisasi korban dan memastikan FTN dibebaskan. Menjamin penyidikan yang objektif, transparan, dan adil.


“Jika tantangan ini gagal dijawab, maka kepercayaan publik terhadap Polri, khususnya Polda Sulsel, akan runtuh semakin dalam,” Imbuhnya.


Desakan ke Lembaga Independen, Tim kuasa hukum FTN mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kompolnas, dan LPSK untuk segera turun tangan mengawal kasus ini. Mereka juga meminta Kejaksaan Negeri Jeneponto bertindak profesional dengan berani memproses hukum Briptu JYC tanpa pandang bulu.


Kasus ini kini menjadi potret buram penegakan hukum di Indonesia: korban dipenjara, pelaku berlindung di balik seragam. (*411U).




Sumber : (*2357U).




Berita Video

×
Berita Terbaru Update