Notification

×

Iklan

Iklan

Represifitas Polrestabes Makassar: Luka Demokrasi yang Membakar Perlawanan Wija To Luwu

Kamis, 02 Oktober 2025 | Oktober 02, 2025 WIB Last Updated 2025-10-02T07:20:39Z

Korban Represif


Makassar, Celebes Post Di tengah semangat demokrasi yang terus dijunjung tinggi bangsa ini, tindakan represif aparat kepolisian kembali mencoreng wajah hukum dan keadilan. Polrestabes Makassar, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga ketertiban dengan pendekatan humanis, justru mempertontonkan arogansi kekuasaan dengan cara membungkam aspirasi rakyat. Aparat bukan hadir sebagai pelindung, melainkan berubah menjadi momok yang menakutkan masyarakat.


Represifitas yang dialami massa aksi kali ini bukan sekadar catatan biasa, melainkan luka kolektif. Aliansi Wija To Luwu yang turun ke jalan dengan semangat memperjuangkan kebenaran dan menuntut keadilan, diperlakukan dengan kekerasan. Ironisnya, Ketua IKPM WALMAS, Ibnu, turut menjadi korban. Peristiwa ini menegaskan bahwa siapa pun dapat menjadi sasaran represifitas aparat, bahkan mereka yang hanya menjalankan mandat organisasi dan aspirasi mahasiswa.


Ibnu, sebagai Ketua IKPM WALMAS, tidak tinggal diam. Ia secara tegas mengecam tindakan brutal aparat. Menurutnya, apa yang dilakukan Polrestabes Makassar bukan hanya mencederai dirinya secara pribadi, tetapi juga melukai martabat organisasi dan menghina akal sehat demokrasi. Dalam pernyataannya, Ibnu menegaskan bahwa ketakutan yang coba dipaksakan aparat tidak akan pernah mampu meredam semangat mahasiswa, apalagi mematikan nyala perlawanan Aliansi Wija To Luwu.


Sikap Ibnu ini menjadi simbol bahwa perjuangan mahasiswa tidak akan berhenti hanya karena tindakan represifitas aparat. Sebaliknya, ia mempertegas bahwa kekerasan hanyalah bukti lemahnya kepolisian dalam menghadapi kritik. Aliansi Wija To Luwu berdiri teguh, menjadikan perlawanan ini sebagai cermin bahwa suara rakyat tidak bisa diredam dengan kekerasan.


Represifitas Polrestabes Makassar adalah cermin krisis moral dan kepemimpinan dalam tubuh kepolisian. Aparat seharusnya sadar bahwa legitimasi mereka lahir dari kepercayaan publik, bukan dari senjata dan tameng. Jika kekerasan terus dijadikan alat, maka polisi hanya akan dikenang sebagai penindas, bukan pengayom. 


Oleh sebab itu, kasus ini tidak bisa dianggap sebagai insiden teknis belaka. Ia adalah sinyal bahaya bagi demokrasi kita. Jika tidak ada evaluasi menyeluruh, tidak ada pertanggungjawaban, dan tidak ada koreksi serius, maka rakyat, termasuk mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Wija To Luwu, akan terus memperjuangkan ruang demokrasi yang hari ini coba dibungkam dengan kekerasan.


@Hk/mds


Berita Video

×
Berita Terbaru Update