Notification

×

Iklan

Iklan

Jejak 23 Miliar di Pasar Lamataesso: Konstruksi Rapuh, Penyidikan Lambat, dan Bayang-Bayang Kekuasaan yang Tak Tersentuh

Kamis, 20 November 2025 | November 20, 2025 WIB Last Updated 2025-11-19T16:16:52Z

 

Dokumentasi Celebes Post 


CELEBES POST, Makassar  — Aroma aspal panas di halaman Polda Sulawesi Selatan siang itu bercampur dengan teriakan mahasiswa. Di antara kerumunan, beberapa membawa map penuh dokumen fotokopi: laporan proyek, foto konstruksi, dan lembaran-lembaran anggaran. Mereka bukan sekadar melakukan unjuk rasa rutin. Para mahasiswa ini datang dengan tuduhan terstruktur: ada Rp23 miliar uang negara yang menguap, dan proses penyidikannya diduga tersendat bukan karena sulit, melainkan karena sangat sensitif.


Ini adalah liputan panjang mengenai mengapa kasus ini berhenti di meja penyidik, siapa yang diduga diuntungkan, bagaimana proyek berjalan, dan mengapa publik justru semakin curiga.


Awal Proyek, Awal Masalah


Pasar Lamataesso, yang semestinya menjadi sentra ekonomi baru bagi masyarakat Sidenreng Rappang, direncanakan sebagai proyek multi-tahun dengan pendekatan modernisasi fasilitas perdagangan. Anggarannya mencapai Rp23 miliar, mencakup pembangunan los, kios, infrastruktur pendukung, dan struktur beton yang diklaim tahan lama.


Namun sejak awal, beberapa anggota DPRD daerah sudah mengendus kejanggalan. Pemilihan kontraktor berlangsung cepat dan minim transparansi. Proses lelang disebut-sebut melibatkan “rekomendasi”, istilah halus untuk menggambarkan dugaan intervensi pihak berkepentingan.


Menemukan tiga dokumen internal yang menunjukkan perbedaan signifikan antara gambar perencanaan dan pelaksanaan fisik bangunan. Perbedaan ini mengindikasikan adanya potensi:


pengurangan volume,


modifikasi material,


penghematan biaya secara tidak wajar yang sering menjadi celah praktik mark-up.


Seorang pejabat yang pernah terlibat dalam penyusunan dokumen lelang mengatakan:


“Proyek ini terlalu cepat. Banyak pertanyaan yang tidak dijawab.”

 


Ia meminta namanya tidak ditulis karena khawatir kehilangan pekerjaan.


Beton Retak dan Struktur yang Dipertanyakan


Masalah kualitas bangunan mencuat setelah warga melaporkan adanya keretakan pada dinding dan tiang bangunan yang baru beberapa bulan selesai. Foto-foto yang diterima menunjukkan beberapa kolom beton dengan tekstur kasar, indikasi bahwa proses pengecoran tidak dilakukan sesuai standar.


Seorang Ahli sipil yang diminta menelaah foto-foto tersebut menyimpulkan:


“Ada indikasi kuat bahwa mutu beton tidak sesuai spesifikasi. Jika proyek ini benar menggunakan standar K-250 ke atas, hasilnya tidak akan sebesar itu retaknya.”



Di sinilah titik awal pengaduan masyarakat masuk ke aparat penegak hukum.


Masuk ke Polda: Penyidikan yang Berjalan Seperti Jam Rusak


Laporan masyarakat pada awalnya diterima dengan cepat. Namun, setelah beberapa bulan, tidak ada perkembangan signifikan. Polda Sulsel terus menyampaikan jawaban yang hampir identik:


menunggu hasil uji beton,


menunggu pemeriksaan administrasi,


melengkapi keterangan ahli,


pendalaman alat bukti.



Hingga dua tahun berselang, jawaban ini tidak berubah.


Beberapa penyidik aktif, ketika diminta pendapatnya secara off the record, mengakui bahwa kasus ini memang “bukan kasus biasa”. Salah satu dari mereka mengatakan:


“Ada banyak pihak berkepentingan. Kalau kami salah langkah, bisa berpengaruh pada banyak hal.”


Ia tidak merinci, tetapi gestur tubuhnya menunjukkan kehati-hatian.


Ketika Kapolda Berganti, Harapan Publik Muncul — Namun Tanpa Hasil Konkret


Publik menaruh harapan pada pergantian Kapolda Sulsel tahun ini. Harapan itu sederhana: penyegaran kepemimpinan dapat mempercepat penanganan kasus-kasus stagnan.


Namun tidak menemukan instruksi tegas terkait prioritas penyidikan kasus Lamataesso. Beberapa sumber mengatakan bahwa Kapolda baru masih “memetakan situasi politik internal dan eksternal”. Kasus besar seperti ini sering kali berada di antara jalur hukum dan jalur kepentingan.


Seorang akademisi hukum pidana mengatakan:


“Perkara korupsi dengan nilai puluhan miliar biasanya memiliki bayang-bayang politik. Penyidik menunggu aba-aba.”


Pernyataan itu menggambarkan situasi yang lebih kompleks daripada sekadar lambatnya proses teknis.


GMPH Masuk: Dari Kritik Jadi Tekanan Politik


Gerakan Mahasiswa Peduli Hukum (GMPH) Sulsel awalnya hanya merespons laporan masyarakat. Namun ketika penyidikan tidak bergerak, mereka mengambil peran lebih besar: menjadi pengawas jalanan bagi penegakan hukum.


Ketua GMPH, Ryyan Saputra, menunjukkan dokumen-dokumen yang menurutnya menunjukkan inconsistency antara RAB (Rencana Anggaran Biaya) dan kondisi fisik bangunan.


“Ini bukan sekadar retakan. Ini jejak uang yang tidak ke tempat seharusnya,” katanya.


GMPH mulai mendalami siapa saja aktor yang terlibat dalam pengambilan keputusan proyek. Mereka menyebut bahwa keterlambatan penyidikan bukan hanya soal teknis, tetapi soal keberanian aparat.


Pola Lama Penyidikan Korupsi di Daerah: Ancaman yang Sering Terulang


Dalam banyak kasus korupsi di Indonesia, Tempo mencatat pola yang hampir sama:

Proyek bermasalah.


Warga melapor.


Penyidikan lamban.


Jika ada tersangka, biasanya pelaksana teknis.


Aktor pengambil keputusan tidak tersentuh.


Publik kehilangan kepercayaan.


GMPH menolak pola ini kembali terjadi.


“Kami tidak ingin melihat tersangka hanya dari level bawah. Nilai proyek Rp23 miliar tidak mungkin diputuskan oleh satu-dua orang yang tidak punya kuasa,” kata Ryyan.

 


Tensi Meninggi: Aksi Jilid I Sudah Dijadwalkan


GMPH memberikan tenggat moral kepada Polda Sulsel. Jika tidak ada perkembangan signifikan, mereka akan menggelar Aksi Jilid I dalam skala lebih luas.


Aksi ini diperkirakan melibatkan:


mahasiswa dari berbagai kampus,


organisasi sipil,


kelompok pedagang pasar,


pemerhati anggaran daerah.


Menurut informasi yang diperoleh Tempo, beberapa aliansi mahasiswa di kabupaten tetangga sudah menyatakan siap bergabung.


Apa yang Sebenarnya Ditaruhkan?


Kasus Pasar Lamataesso bukan hanya tentang 23 miliar uang negara. Ia merupakan:


uji integritas penyidik,


uji independensi lembaga hukum,


uji keberanian pimpinan Polda,


dan uji kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Sulawesi Selatan.


Jika penyidikan ini kembali tersendat, dampaknya lebih besar dari sekadar proyek pasar: ia akan memperkuat keyakinan publik bahwa hukum bisa diatur oleh struktur kekuasaan.



Penutup: Kasus yang Menunggu Keputusan Besar


Kasus Lamataesso kini berdiri di persimpangan: antara dituntaskan atau dibiarkan mengendap seperti banyak kasus lain di negeri ini. Publik telah memberikan tekanan, mahasiswa telah memberikan peringatan, dan dokumen-dokumen telah dibuka.


Yang tersisa kini hanyalah satu hal:
keberanian aparat di Polda Sulsel untuk menyentuh aktor utama, siapa pun dia.


Sampai keputusan itu dibuat, kasus ini akan tetap menjadi cermin buram penegakan hukum di Sulawesi Selatan — cermin yang semakin hari semakin sulit dihindari.



@mds/lpl

Berita Video

×
Berita Terbaru Update