![]() |
| Ilustrasi Celebes Post |
CELEBES POST, Makassar — Program Lembaga Pendidikan Mahasantri (LPM), kerja sama antara Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IQT) UIN Alauddin Makassar dan Pemerintah Kabupaten Gowa, kini menjadi sorotan setelah muncul keluhan mengenai ketimpangan akademik antara mahasiswa reguler dan peserta program tersebut. Meski tujuan LPM untuk melahirkan sarjana penghafal Al-Qur’an dinilai mulia, implementasinya diduga menciptakan standar ganda yang memicu kegelisahan di kalangan mahasiswa.
Akses Dosen Tidak Merata, Regulér Merasa Tersisih
Keluhan pertama muncul dari perbedaan akses mahasiswa terhadap dosen pembimbing. Mahasiswa reguler mengaku kesulitan menemui dosen dan sering harus menunggu lama untuk bimbingan, sementara mahasiswa LPM disebut lebih mudah mendapatkan perhatian akademik.
“Teman-teman di LPM lebih cepat dibimbing, mungkin karena dosennya juga sering berada di asrama mereka,” kata salah seorang mahasiswa reguler.
Lokasi asrama LPM yang berada di wilayah Gowa membuat sejumlah dosen rutin melakukan kunjungan, yang secara tidak langsung memperkuat kesan bahwa perhatian akademik lebih condong ke peserta program.
Proses Skripsi Beda Jalur, Pertanyaan tentang Keadilan Menguat
Isu paling mencolok terletak pada perbedaan prosedur akademik, terutama pada proses penyusunan skripsi. Mahasiswa reguler harus mengikuti alur penuh: penentuan judul yang ketat, perkuliahan intens, tugas berlapis, dan seminar proposal individual yang melelahkan.
Sebaliknya, beberapa mahasiswa LPM disebut menerima sejumlah kemudahan:
Judul skripsi ditentukan langsung oleh dosen pembina.
Seminar proposal dilakukan secara kolektif dalam satu sesi.
Bimbingan dipusatkan di asrama dengan intensitas lebih tinggi.
Perbedaan prosedur ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah pantas gelar yang sama diperoleh melalui beban dan standar akademik yang berbeda jauh?
Dugaan Pengaruh Insentif Finansial, Jurusan Diminta Transparan
Kritik lain mengemuka terkait insentif finansial dari Pemkab Gowa kepada dosen-dosen yang terlibat dalam pembinaan LPM. Meski belum dikonfirmasi secara resmi, sejumlah mahasiswa menilai insentif tersebut berpotensi memengaruhi prioritas dosen.
“Kalau dosen mendapatkan honor tambahan dari program itu, wajar kalau perhatian mereka lebih besar ke LPM. Tapi kami yang reguler jadi seperti nomor dua,” ujar salah satu mahasiswa.
Jika dugaan ini benar, pertanyaan etis muncul: sejauh mana insentif tersebut memengaruhi keadilan layanan akademik?
Tidak Anti LPM, Hanya Menuntut Proses yang Setara
Para pengkritik menegaskan bahwa mereka tidak menolak keberadaan program LPM. Bahkan banyak yang mengakui bahwa program tersebut memiliki manfaat besar dan kontribusi positif dalam pembinaan penghafal Al-Qur’an.
Namun, mereka menekankan bahwa:
“Program baik tidak boleh mengorbankan keadilan bagi mahasiswa lain.”
Perbedaan perlakuan tanpa evaluasi dianggap berpotensi menciptakan jurang sosial dan akademik di antara mahasiswa IQT — yang pada akhirnya dapat merusak marwah akademik jurusan.
Solusi: Evaluasi Menyeluruh dan Dialog Terbuka
Sejumlah dosen dan pengamat pendidikan menawarkan beberapa langkah perbaikan:
Menyatukan standar akademik agar tidak ada perbedaan proses bagi mahasiswa reguler dan LPM.
Meningkatkan transparansi di semua level, baik penentuan judul, proses bimbingan, hingga mekanisme seminar.
Membentuk forum dialog terbuka antara jurusan, mahasiswa reguler, mahasiswa LPM, dan Pemkab Gowa.
Membangun pedoman resmi agar implementasi LPM berjalan tanpa melahirkan privilege berlebihan.
Menjaga Integritas Akademik
Pada akhirnya, isu ketimpangan ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi menyangkut kepercayaan mahasiswa terhadap institusi akademik. Pendidikan yang baik bukan saja menghasilkan lulusan berprestasi, tetapi juga memastikan proses yang ditempuh berlangsung adil dan setara bagi semua pihak.
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir kini diharapkan melakukan langkah-langkah nyata untuk memastikan bahwa program LPM tetap berjalan, namun tidak menjadi sumber ketidakadilan.
MDS – Celebes Post
