![]() |
| Dokumentasi Celebes Post |
CELEBES POST, LUWU TIMUR —
Di tepi pantai Luwu, senja turun pelan. Perahu-perahu nelayan terparkir rapi—bukan karena laut sedang marah, tetapi karena solar subsidi sulit didapatkan. Mesin kapal diam. Wajah-wajah nelayan tampak resah. Mereka hanya bisa menatap pompa bensin dari jauh, menunggu BBM yang kian langka dan mahal.
Di saat rakyat kecil berjuang bertahan hidup, sebuah mobil tangki bermuatan ±8.000 liter melaju mulus dari Luwu Timur menuju Parigi Moutong. Di balik dinding baja tangki itu, Lembaga Analisis Anti Korupsi Indonesia (LAKINDO) mencium dugaan praktik besar: solar subsidi milik rakyat diduga dialihkan ke industri raksasa.
Ini bukan isu sepele. Ini tentang hak hidup rakyat kecil yang perlahan dicuri dalam senyap.
Ketika Dokumen Menjadi Kunci Terbukanya Jejak Permainan
Investigasi LAKINDO bermula dari mobil tangki DD 8328 XA yang dikemudikan MR alias Marten. Dokumen pengangkutan tercatat atas nama PT Gogo Oil Internasional (GOI) dengan tanda tangan Adi Candra yang beralamat di Ruko Vida View Apartment BV 52, Makassar.
Namun saat dokumen diperiksa, temuan serius mencuat:
Tidak ada nomor surat resmi
Tidak ada nomor segel
Bagian penting justru ditulis tangan
Format jauh dari standar dokumen migas nasional
Dalam bahasa investigasi—ini sinyal kuat rekayasa dokumen.
Nama-Nama Perusahaan Mulai Mengemuka
LAKINDO juga menyoroti jaringan perusahaan transporter:
PT Gogo Oil Internasional (GOI)
PT Bintang Terang Delapan Sembilan
PT Ronal Jaya Energi
PT Putra Amanah Jaya
![]() |
| Dokumentasi Investigasi Lakindo |
![]() |
| Dokumentasi Investigasi Lakindo |
![]() |
| Dokumentasi Investigasi Lakindo |
![]() |
| Dokumentasi Investigasi Lakindo |
Beberapa sopir armada PT Bintang Terang Delapan Sembilan disebut mengakui pengangkutan solar subsidi menuju kawasan industri IMIP Morowali.
Sementara PT Ronal Jaya Energi diduga berlindung di balik status BBM non-subsidi.
Benang merah pun mulai tampak.
BBM subsidi yang seharusnya menjadi oksigen ekonomi rakyat kecil diduga bermuara ke industri.
Modus yang Ditengarai Dipakai:
Mengubah Status, Mengubah Harga
Solar subsidi dibeli pada harga sekitar Rp 9.300/liter. Saat masuk jalur industri, nilainya melonjak menjadi ± Rp 13.000/liter.
Selisihnya mencapai Rp 3.700 per liter.
Untuk 1 tangki 16.000 liter, keuntungan kotor bisa mencapai:
± Rp 59,2 juta sekali jalan.
Jika 5 armada beroperasi setiap hari selama sebulan, potensi keuntungan gelapnya:
± Rp 8,88 miliar per bulan.
Di sinilah publik bertanya:
Bagaimana mungkin BBM subsidi bisa lolos dari pengawasan negara — kecuali ada jaringan yang kuat?
Dugaan Backing Oknum & Lubang Pengawasan
Direktur Pelaporan LAKINDO, Sainuddin Mahmud, berkata tegas:
“Kami menemukan indikasi kuat adanya jaringan terorganisir, termasuk dugaan keterlibatan oknum aparat. Negara jangan kalah dari mafia BBM.”
Menurutnya, beberapa sopir tidak dibekali Surat Perintah Pengantaran resmi dari Pertamina.
Sebaliknya, mereka hanya memegang PO internal perusahaan.
Celah ini membuka ruang manipulasi jalur distribusi.
Jika benar ada backing, maka kontrol negara lumpuh di titik paling vital.
Di Balik Angka, Ada Rasa Perih Rakyat
Di ruang publik, dampaknya terasa nyata:
Nelayan gagal melaut karena tak mampu membeli solar
Petani berhenti memompa air ke sawah
Transportasi logistik terganggu
Harga bahan pokok ikut naik
UMKM menjerit
Solar subsidi adalah nyawa ekonomi rakyat kecil.
Ketika nyawa itu disedot diam-diam, maka yang sekarat adalah mereka yang tak punya suara.
Ini sisi humanis yang paling pahit dari dugaan praktik mafia energi.
Bahasa Hukum: Ketika Dugaan Administrasi Menjadi Dugaan Kejahatan Ekonomi Negara
Di ranah hukum, nada tegas langsung terdengar.
Praktisi hukum dan Direktur Law Firm INSAN NUSANTARA, Aswandi Hijrah, S.H., M.H., menegaskan:
“Pengalihan solar subsidi ke sektor industri bukan kesalahan kecil. Itu tindak pidana berat.”
Ia menjelaskan kemungkinan pasal yang menjerat:
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas jo. UU Cipta Kerja – Pasal 55
➡️ Penyalahgunaan niaga BBM bersubsidi
➡️ Ancaman 6 tahun penjara & denda hingga Rp60 miliar
Pasal 263 KUHP — Pemalsuan Dokumen
➡️ Ancaman 6 tahun penjara
UU Tipikor — bila melibatkan aparat negara
➡️ pidana diperberat
Aswandi memperingatkan:
“Jika ada aparat terlibat, ini bukan sekadar pidana migas, tetapi korupsi. Negara wajib hadir. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
Ini sisi tegas-legalistik yang tak bisa ditawar.
LAKINDO Menantang Negara: Berani atau Tidak?
Dalam rekomendasinya, LAKINDO mendesak:
Mabes Polri & BPH Migas
✔ audit jalur distribusi BBM subsidi
✔ panggil perusahaan terkait
✔ bongkar jaringan hingga ke akar
✔ tindak tegas bila terbukti
Menkopolhukam
✔ bentuk Satgas Pemberantasan Penggelapan Solar Subsidi
Pertamina
✔ perketat PO & sistem digital tracking
✔ blacklist perusahaan yang terbukti bermain
Penutup: Negara Sedang Diuji — dan Rakyat Menjadi Saksi
Di balik kasus ini, cerita yang paling jujur datang dari rakyat kecil:
Nelayan yang tak jadi melaut.
Petani yang menatap sawah kering.
Sopir angkutan yang antre tanpa kepastian.
Mereka tak meminta banyak.
Hanya hak mereka atas BBM subsidi — bukan untuk dilahap mafia.
Kini pertanyaan paling sederhana mengemuka:
Apakah negara berani melawan mafia energi — atau membiarkan rakyat terus menjadi korban?
Karena jika hukum tak berdiri tegak, maka yang menang adalah:
jaringan mafia energi
rente korporasi
backing kekuasaan
Dan yang kalah tetap sama:
Rakyat kecil.
Sulawesi Selatan tidak menunggu alasan.
Sulawesi Selatan menunggu penindakan.
Catatan Redaksi
Berita ini disusun berdasarkan data investigatif LAKINDO, hasil penelusuran lapangan, dan pernyataan narasumber.
Seluruh pihak yang disebut berhak menyampaikan klarifikasi serta hak jawab sesuai UU Pers.
Status dugaan baru dapat dipastikan melalui proses hukum yang sah.
MDS — CELEBES POST





